Sabtu, 12 Oktober 2013

Malam Tarwiyah

Alhamdulillah.. Maghrib ini sudah masuk 8 Dzulhijjah, artinya besok sudah mulai shaum Tarwiyah dan besoknya lagi shaum Arafah.
Selalu bangga ketika bisa menjalnkan shaum sunnah arafah. Semua ibadah yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasul semuanya istimewa, tapi bagi saya sangat berbeda untuk shaum arafah. Kata alm uwa yang selalu ii panggil ayah, ketika kita bisa tamat shaum arafah berarti kita sama saja sedang membantu para jemaah haji yang sedang wukuf di arafah. Semua doa dan harapan kita jika kita tulus berdoa pada hari itu akan diijabah oleh Allah.
Pernah pada suatu hari ketika shaum arafah entah ii usia berapa yang jelas ii masih ibtidaiyah, kalo ga salah juga pas ii kelas 4 soalnya mba yanti masih sma juga. Ayah berkata tadi demikian. Seketika juga ketika sholat dzuhur berjamaah ii meminta kelak ketika udah gede bisa jadi dokter kaya om mimin. Gak tau apa motivasinya tapi sejak saat itu selalu bermimpi bisa jadi dokter.
Pas udah gede, inget banget pas kelas 1 aliyah kita bertiga ngobrol setelah maghrib sama ibu (uwa) juga.
Intinya mereka berdua pengen kalo kelak ii jadi dokter. "apapun itu nduk, semuanya mendukung. Dari segi finansial dan kemampuanmu sendiri. Jadi nanti kalo bapak sakit gak usah ngantri lagi di rsud. Kan udah punya anak dokter" jleeb..
Saat itu semua orang hampir mengakui kemampuan saya untuk dapat bersaing di bidang itu. Tapi kalo ii rasa mereka sangat berlebihan. Sebab yang ii tau saat itu kuliah di kedokteran adalah segala tentang kemampuan sains dan finansial yang mengikutsertakan pula sebuah pergolakan batin yang menguras emosi. Yap itulah sebuah tuntutan profesi.
Sejak saat itu sekuat tenaga untuk bisa mencintai sains dengan sepenuh hati. Dont worry about kimia and biologi. Tapi tentang matematika, dia masih menjadi musuh besar saya.
Pertengahan kelas 1, entah apalagi pula yang menginspirasi saya mencintai sastra. Diperpus depan sekolah saya, gemar sekali rasanya nongkrong di bagian sastra. Babad Banjarnegara sudah tamat saya baca, dan saya menyimpulkan dengan kasar dan anarki bahwa kami keluarga Damanhuri masih memiliki titisan darah bangsawan Banjarnegara. Yap itu cuma kesimpulan anarki saja.
Kembali ke arafah. Ketika kelas 2 aliyah pas malam takbiran dan merupakan malam takbiran terahir juga dengan beliau, ii mogok ga mau ikut takbiran ke mesjid. Padahal yang lainnya dengan sukacita bersama sama di mesjid. Karena sebuah konflik batin sehingga semua ekspresi hati semuanya keluar tak bersisa. Dengan tenang beliau menenangkan dengan bahasa jawa lemesnya " sekarang saatnya semua orang bersuka cita. Semua orang bertakbir. Biarkan orang mau berkata apa. Ayo cepat sekarang bergegas ke masjid. Tidak ada yang tau usia kita. Mungkin ini menadi malam takbir terahir kita"
Saya cuma diam sambil mengalihkan airmata yang sejak tadi ditahan tahan pada buku agenda hitam. Dengan penuh sabar beliau duduk ditempat tidur samping kursi tempat saya duduk. Tidak ada nada marah, menasehati atau menuntut. Semua adlah tentang kelembutan seorang ayah pada anak gadisnya yang sedang yang labil.
Kalo keinget sekarang sumpah nyesek. Setiap kali takbiran, pasti dan pasti keinget nasihat itu. Dan sebisa mungkin buat gak murung lagi ketika malam takbiran.
Allah, rasanya kangen banget sama bapak.
Dulu ketika masih ada beliau, rasanya semua terasa istimewa menyambut idul adha. Berbeda dengan hari ini. Yang tak ada rasa sakral ketika hari itu tiba.
Kangen suasana banjarmangu. Mungkin idul adha kali ini akan bertambah sepi, terlebih tinung ga ada lagi disana.
Allah rindu shaum arafah seperti dulu, rindu idul adha seperti dulu