Minggu, 29 Desember 2013

sebuah tahun sampah

haii,
Okey beibh ini penghujung 2013. Sebenarnya sangat tidak layak harus menceritakan dan menuliskan cerita tentang perjalana tahun, tapi anggap saja ini sebagai refleksi dan alarm untuk memperbaiki diri lantas berlari.

Diawal tahun 2013, saya mulai menggadaikan waktu pada sebuah program PLP (Program Latihan Profesi). Secara tertulis program ini selama 6 bula atau satu semester, tapi pada prakteknya dapat kurang dari itu. Saya membayagkan masa PLP adalah masa dimana saya bisa memiliki waktu lepas dzuhur yang banyak karena sudah tidak terikat oleh kuliah dan dapat memperbaiki IMM saya. Tapi justru yang saya dapatkan adalah sebaliknya. Selama 6 full waktu saya tergadai di Pajajaran sampai datang panggilan Isya.

Yaa Rabb, saya hanya manusia biasa yang jujur sangat tidak tertarik samasekali dengan dunia mengajar saat itu dan setiap hari harus menggadaikan diri disekolah. Beberapa minggu disana saya sanget merasakan sebuah perbedaan, kita saling kompetitif untuk menjadi yang lebih baik menampilkan lebih baik dan memeberikan lebih baik pula. 3 bulan disana, hampir semua kewajiban mengajar dikelas selesai, saya baru menemukan sebuah ritme. Bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian luar biasa, bukan seperti mulut yang berbicara melainkan otak yang berkehendak dan hati yang bertitah. Sebuah ketulusan adalah modal utama didalamnya. BODOH sangat bodoh ketika saya mengira bahwa diri saya sedang tergadai. Justru saya mendapatkan segalanya disini, seperti pulang kuliah dalam kondisi kehujanan maka akan lebih baik jika mandi sekalian. Yap mungkin itu perumpamaannya. Saya aka menjadi guru, camkan itu. Tapi bukan guru sebagai mereka, saya akan pada pendirian saya dan mulai saat ini akan lebih untuk belajar. Sebab menjadi seorang guru bukan persoalan tentang memiliki banyak harta dan membangun sebuah dinasti seperti kebanyakan, melainkan menjadi sosok sahabat yang multifungsi. Jujur, saya mulai merindukan kembali saat-saat membuat soal test dan melihat anak didik saya bisa mengerjakannya dan memahaminya. Menjadi guru bukanlah persoalan mengajarkan anak didiknya bisa mengerjakan soal yang kita berikan namun bagaimana kita dapat menjadi simbiosis mutualisme didalamnya dimana ada factor keterkaitan untuk saling membantu dan memahami hal baru dalam hidup. Ya, saya akan menjadi guru.
Sisa 6 bulan berikutnya sungguh menjadi bulan-bulan yang membosankan, dimana hari-hari saya hanya berlalu begitu saja tanpa sebuah makna dan cerita. 6 bulan berikutnya adalah sebuah ruang gelap diamana saya harus berusaha bernafas didalamnya. 6 bulan beikutnya adalah tentang sebuah lorong panjang yang harus saya temukan ujungnya. 6 bulan berikutnya adalah dimana saya harus move on dan patah hati sekaligus dalam saat yang bersamaan.

2013, tahun sampah yang sangat pendek. Tak satupun kemajuan yang didapat dari target emas yang telah dituliskan di tahun sebelumnya.
Mungkin ditahun depan, semua orang tidak akan mengenali saya. Saya bukan malaikat atau peri lagi dalam sebuah cerita (yang pada tahun sebelumnya juga bukan peri atau malaikat), semoga bukan pula menjadi iblis atau syetan yang selalu berjalan pada sisi lain manusia.

Tapi, SRI AGUS SUPRIANI pada tahun 2014 adalah metamorfosa gadis kecil menjadi gadis dewasa yang akan konsisten pada jalan lurus. Bukan pada jalan kanan ataupun jalur kiri. Sri Agus Supriani pada tahun 2014 adalah gadis cikal bergelar S.Pd.
Tidak ada yang istimewa dari 2013,

Bandung, 29 Desember 2013

#angkadua

Lego di tanah Priangan

2 SMP,
Anggap saja ini hanya sebagai penyemangat belajar. Pengantar untuk lebih baik. Sebagai awal untuk untuk ahir yang panjang.

2 Aliyah…
Sudah bukan sebuah kebetulan lagi. Bahwasanya ini adalah titik dimana saya berada pada garis equilibrium remaja. Sudah bukan sebagai penyemangat belajar, melainkan pertaruhan antara prinsip, kesetiaan, dan permainan busuk untuk bisa menyembunyikan sesuatu yang konon indah rupanya dan semerbak wanginya. Sebuah ketaatan atau jati diri atau apapun itu adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Membawa kita kepada sebuah jarak yang benar-benar jauh, hingga bahasa lisan sepertinya sudah tidak dapat dikenal lagi. Saya masih disini, masih dengan namamu dimanapun itu.
Yang pada suatu siang, saya harus tau bahwa ikhlas adalah segalanya. Tidak ada yang salah, bukan jarak yang tak tertempuh atau bahasa yang sudah tidak lagi dapat terucap. Kita sudah terlalu jauh, hingga ahirnya sangat jauh.
Pertengahan semester 2 lalu, saya menemukan seonggok dzat sepertimu. Atau kau sedang bereinkarnasi? Saya berhalusinasi tajam, atau saya rasa tidak juga.
Kau ada padanya, wujudmu berbeda namun atmosfer yang dia ciptakan seperti ketika kita sedang membahas sebuah strategi pada pagi buta dulu atau saat senja datang. Yakin, jika dia adalah reinkarnasi atas dirimu dan dikirim ke dekatku.
Semester 8 berahir
Dia yang telah lama tersimpan dalam folder tua rak buku, setiap hari satu persatu datang sebagai film tua. Seperti sedang menterjemahkan sebuah prosa klasik Jepang yang membutuhkan ketekunan untuk mengurai aksaranya dan menggandeng kamus untuk menterjemahkan bahasanya.
Yang lama telah kembali. Saat ini lah, masa dimana sebuah prinsip sangat dipertaruhkan.
Maaf saya sedikit goyah, dengan menghancurkan sendiri lego yang telah saya susun selama ini.

22 Agustus 2013
Dia menanam, maka dia yang akan memetik buahnya. Inilah hasil tanamku, sebuah kepiasan, kegamangan yang hingga kini masih menjadi misteri. Tak ada yang mengetahui warnanya, tak seorangpun dapat menyebut namanya, merusak sebungkus ketulusan wanita tua kepada gadis kecilnya. Saya menyesal.

Saya masih menutup gerbang ini sebelum lego kembali tersusun. Mungkin Majapahit akan mudah menghadang pasukan Pajajaran di lembah Larangan, tapi laut utara adalah seburuk tempat dimana Patih Gajah Mada sendiri tidak dapat bersembunyi dirumahnya.

Senin, 25 November 2013

untitled_

Semua teman-teman memakai seragam Pramuka rapih berikut atributnya. Yang saya ingat, semua teman-teman masa SMP saya berada di lapang itu, sebuah lapang sepakbola kecamatan yang biasa digunakan untuk upacara hari besar nasional, sholat Ied atau tempat olahraga sekolah disekitar termasuk Ibtidaiyah dan TK tempat saya sekolah dulu.
Disitu ada beberapa kelompok regu, yang saya ingat pula saat itu saya satu regu dengan Liya dan Rif’aini—atlet  lempar cewe dari Prendengan. Sebelum kami dikumpulkan di lapang itu, sebelumnya ada pertandingan sepeda down hill. Rutenya Banjarkulon-Kandangan-Kayunan dan finish di lapang tempat kami berkumpul saat itu (Kandangan). Meskipun saya tidak mengikuti tournament down hill itu tapi lelah yang mereka rasakan sepertinya saya rasakan juga, nafas saya seperti habis berlari dan mengayuh yang begitu jauh terasa panas.
Acara di lapang saat itu bebas, kami di bebaskan untuk bermain-main namun masih tetap pada barisan kami. Saya sedikit kecewa karena harus disatukan dengan Rif’aini tapi saat itu saya tidak memilliki pilihan pula untuk memilih kelompok yang lain. Rif’aini hanya diam, tidak mau tersenyum bahkan bicara dia hanya suka berdiri diam dan menunduk. Yang saya rasakan saat itu adalah ini tanggung jawab saya untuk bisa membuat Rif’aini berbicara atau sekedar tersenyum karena dia teman satu kelompok saya. Benar saja, Rif’aini ahirnya mau bicara bahkan dia tertawa saking senangnya saya langsung berteriak sambil berlari dan Rif mengejar dibelakang saya. Di sisi timur lapang ini terdapat satu buah pohon kelapa yang menjulang tinggi di salah satu pojoknya, spot ini biasanya digunakan oleh orang-orang untuk berteduh atau sekadar tempat mengobrol para guru yang sedang menunggui anak didiknya berolahraga. Tempat ini menjadi favorit karena selain rindang, angin yang bertiup akan semakin terasa sejuk jika duduk dibawah pohon ini. Tanah lapang ini luas dan panas karena sedikit pepohonan disekitarnya, kecuali pohon kelapa tadi. Tapi jika angin bertiup ditempat ini rok katun sekalipun bisa diterbangkan olehnya (saya pernah merasakan).
Saya berlari semau saya, serasa kecepatan lari Rif’aini pun tak secepat lari saya. Kemanapun saya berlari, Rif selalu mengejar saya dan saya mengarahkan kearah timur dan menambah kecepatan lari saya. Ketika mendekati kearah pohon kelapa rindang tadi samar-samar saya melihat sosok lelaki. Semakin mendekati pohon itu semakin saya memperlambat kecepatan dan saya mendapati Rif tidak mengejar saya lagi. Semakin dekat, semakin dekat sosok pria itu semakin jelas. Rambutnya utuh hitam pekat, tubuhnya tegap, sedang tapi tidak kurus, kulitnya bersih, tingginya 1/3 pohon kelapa itu. Beliau berdiri persis dibawah pohon kelapa itu, saya masih tetap berlari kearahnya. Pelan, pelan dan pelan ternyata pria itu menjinjing sebuah tas plastic hitam, entah apa isinya tapi bliau menatap tajam kearahku dengan diam. Semakin jelas saya lihat wajahnya yang teduh dan menatap tajam, ada sensasi sesak didada yang ahirnya menghentikan lari lantas berjalan mendekat. Beliau menggunaka celana kain, polo shirt bermotif belang dan jaket Adidas merah kesayangan saya, jelas sekali terlihat menggatung dipake beliau. Sesak didada semakin pekat, tangisku mulai pecah sejadinya sampai mataku tidak begitu jelas melihat kearahnya. Ketika saya menyeka airmata, ternyata beliau mengulurkan tangannya. Meskipun beliau tak berkata sepatah kata apapun, tapi saya memahaminya bahwa beliau ingin memberikan bungkusan didalam tas plastic hitam tersebut dan mengajak saya pergi. Kedua tangan saya masih menyeka mata yang basah sambil jalan mendekat kearah beliau. Selangkah saya menuju beliau, seperti dua langkah beliau pergi menjauhi saya. Tagannya masih terulur, wajahnya tenang, tak ada senyum diamnya mengisyaratkan bahwa beliau ingin mengajak saya pergi. Tiba-tiba dari arah belakang, teman-teman satu kelompok memanggil untuk segera kembali. Saya menoleh kearah mereka, sedetik saya berfikir “aku akan kembali pada kelompokku karena saat itu sedang ada perlombaan, dan saya akan segera kembali pada beliau”
Saat wajah saya kembali menoleh pada pria itu, dia menghilang pergi melalui gang disamping rumah dekat pohon kelapa itu. Oh, mungkin Bapak menungguku dirumah karena beliau sekarang telah kembali. Yap, pria itu adalah orang yang sangat dengan bagga hati saya panggil Bapak ketika matahari terbit hingga senja datang. Sesal datang kenapa tidak saya menerima uluran tanggannya untuk sekedar berjabat tangan dengannya. Mencium tangan tangguhnya untuk mendapatkan sebuah restu seperti dulu lagi.
Tak jauh dari pohon tersebut terdapat warung kecil yang digunakan sebagai dapur. Juru masak dapur itu memanggil saya dan mengajak masuk. Di dalam sangat panas, tetatpi orang-orang didalamnya begitu ceria. mereka bergurau bersama dan membuatku ikut tertawa juga.
Selesai_
Ketika saya terbangun, saya mendapati diri saya sedang setengah tertawa. Badan saya terasa sejuk seperti habis tertiup angin kencang dan keringat dingin segera mengucur. Saya sadar bahwa tadi itu hanya mimpi, mimpi yang detailnya sangat nyata. ketika ingatan saya kembali pada sosok teduh Bapak saya hanya bisa menangis sambil membaca 3 kali Al Fatihah yang tertahan ditenggorokan dan sekuat tenaga saya selesaikan.
Waktu menunjukan pukul 08.59 WIB itu artinya saya tertidur belum genap satu jam setelah semalaman saya begadang. Jika memang tadi adalah betul Bapak saat ini, saya akan sangat bahagia. Wajahnya teduh bersih, seperti saat 10 tahun ketika sebelum beliau berpulang. Semoga beliau sudah mendapatkan tempat terbaiknya disana menunggu kami untuk berkumpul bersama. Semoga akan ada masa untuk kami bisa bertemu dan berkumpul kembali.
Bandung, 24 November 2013

Minggu, 24 November 2013

berawal dari yang simpel

Teruntuk: semua nama yang kelak saya cantumkan dalam ucapan terimakasih my skrpsweet eh skripsi—yang  tak kunjung selesai jua

Semua berawal dari sesuatu yang sederhana,
Saya bukanlah anak menteri pendidikan yang harus dihormati dimanapun saya duduk ketika belajar atau artis baru yang followernya jutaan. Bapa dan Mamah saya, bukan tipe orangtua yang selalu ‘menguntit’ anaknya hingga bangku sekolahan. Jadi biarkan orang mengenal saya apa adanya, berteman dengan saya karena sebuah ketulusan dan keniscayaan mutlak (wajar aja kalo ga pernah punya temen), bukan berteman karena mereka tahu siapa orangtua saya (sapa emang babeh lo)
Dari dulu memang saya tidak pernah punya teman. Mungkin karena factor saya punya penyakit menahun susah senyum dan terlalu jutek.
Semua kita berangkat dari rumah yang berbeda. Ada begitu banyak perbedaan juga dalam setiap kepala kita. Seorang sosialis berteori bahwa kekeluargaan dapat terjalin karena sebuah status kesamaan tujuan, community dan kesamaan nasib. Kita ada karena memiliki kesamaan tujuan dari kepala yang berbeda meskipun kita tidak pernah menghendaki itu sebelumnya.
Semua yang saya lihat dan saya dengar adalah semua tentang adaptasi, untuk saat itu hingga saat ini. Tebalnya dinding yang melapisi diri kita masing-masing bukanlah hal utama yang harus kita taklukan dalam tempo waktu yang panjang itu tapi singkat banget asli. Melainkan puncak tujuan yang menjadi medan penyatu kita.

Entah berawal darimana ketika dinding masing-masing dari kita mulai menipis lantas semuanya membaur. Saling melengkapi ketika tawa sangat dibutuhkan atau sekedar airmata pada saatnya harus menetes. Dalam naungan gelap atau dibawah hujan yang berselimut halimun, semua kata itu mulai tersusun menjadi kalimat terangkum di dalam sebuah album bersampulkan sinar mentari, sebagian orang menamakannya persahabatan dan sebagian lainnya menyebutnya keluarga.

Saya lebih suka memberikan nama folder tersebut sebagai Keluarga Yang Berawal dari Pertemanan. Itu akan terlihat biasa saja, tapi ketika masanya telah lalu akan sangat indah ketika setiap lembaran filenya dibuka. Sesuatu yang sangat klasik dimiliki oleh setiap orang, dilihat oleh semua mata tapi hanya kita (pelakunya) yang dapat mengartikan setiap baris kata dalam file tersebut.
Semakin klasik sebuah persahabatan, akan semakin indah ketika saat mengenangnya.


heii buat saya :)

apa yang kamu lakukan jika cinta lamamu datang lalu menyapa dengan lembut, "heii cinta masa kecilku maukah mengulang indah masa lalu bersamaku hari ini?"
jawablah..
dengan sigap aku akan segera bersembunyi di ujung jalan,
"pergilah ke ibumu, katakan padanya bahwa kau memilihku lantas kembali padaku sebagai pria. bukan sebagai cinta masa kecilku"

simple bukan, dear?

dipenghujung sabtu, selamat pagi Ahad selamat pagi Bandung

Sejak 6 tahun yang lalu tidak pernah absen untuk tidak menulis sebuah kalimat pada diary. Perjalanan sebuah kata itu dimulai ketika hujan di Sabtu sore 10 November 2008 silam.
Tahun lalu, 2012. Perjalanan kata pada 2008 seperti terulang. Menjadi sebuah replika
Hanya ada hening dan hujan. Memori Sabtu sore  tempo 2008 lalu itu menjelma sebagai replica sebuah drama. Langit gelap, hujan lebat sejak pukul 2 siang hingga waktu menunjukan pukul 4. Tak hanya saya yang terdiam oleh hujan. Namun tanah kelahiranmu yang nunjauh dari saya terdiam kala itu juga merasakan hal sama. Berharap ini sebagai sebuah drama, ketika waktu beranjak sejengkal dari angka 4 lantas saya bisa membuka mata dan melihat sekeliling baik-baik saja. Masih mendengar sapaanmu ketika senja datang. “sudah mandi?”
Ternyata itu bukanlah sebuah drama, atau terlebih sebuah mimpi. Melainkan sebuah dongeng hidup yang skripnya langsung ditulis oleh Tuhan.
Dibawah hujan setahun silam, saya hanya coba memposisikan diri ke sebuah masa dimana tertanggal 10 November 2008. Langit gelap, hujan enggan memberi ampun seakan sedang menghukum tawanannya.
Ketika mata perlahan terbuka, replica 2008 lalu seakan benar benar didepan mata. Hanya ada saya. Duduk didepan jendela mengawasi hujan.
6 tahun tanpamu. Pria terbaik dan terhebat di dunia. engkau yang kami panggil Bapak, semoga kau semakin tenang dengan istirahat panjangmu. Kawal kami agar semakin ikhlas untuk melanjutkan persinggahan singkat kami sebelum ahirnya harus menempuh jalan bersamamu. Dipertemukan kembali dalam firdausNya
terimakasih terdalam, untukmu pria tertangguh di dunia yang tidak pernah lelah saya panggil Bapak
Bandung 10 November 2013_

sukses adalah metamorfosa ulat bulu menjadi kupu-kupu

Diantara kami berlima mungkin ii yang akan menjadi bontot untuk menyandang gelar sarjana. Awalnya tidak begitu maniak banget akan gelar sarjana terlebih title sarjana pendidikan. Sebuah title yang tidak pernah diimpikan dari awal. Seperti yang pernah saya katakana dulu, meskipun title  sarjana bukanlah segalnya dan manusia di bumi masih bisa hidup walau tanpa ada gelar sarjana dibelakangnya lantas ketika saya sejak 4 tahun silam mengikutsertakan diri mengubah title pelajar menjadi mahasiswa maka untuk saat ini gelar sarjana dan 3 huruf di belakang nama adalah menjadi sebuah tujuan ahir;
Bahwasanya nama adalah sebuah doa. Ketika kita mendoakan orang lain maka kita sedang meminta kebaikan untuk diri sendiri pula_
Saya tau persis hal ini, ada imbuhan huruf di depan atau belakang nama tidak akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang  tanpa adanya suatu pemaksimalan usaha untuk menaikan kualitas tersebut dari diri. Menjadi sarjana bukan jaminan mutlak. Yang saya tau hari ini, di Negeriku tercinta Indonesia tidaklah pernah mengenal system kasta dari jaman merdeka hingga tulisan saya ini di posting. Tapi Negeriku yang eksotis ini rakyatnya menjadi “budak” kasta lantas latah sarjana, eh latah apapun itu ketang. Mereka anggap (kecuali saya ^^v) ketika nama asli kita telah dibubuhi kata sarjana akan meningkatkan derajat dan status kita di masyarakat. Yang semula anak tukang becak maka tetap pula menjadi tukang becak, ups maap maksudnya yang semula dia direndahkan karena keadaan ekonomi kelas bawah ketika telah lulus dan menjadi sarjana akan berubah kelas menjadi lebih tinggi. Yap, itu anggapan semua orang. Lalu, semua dan semua orangpun akan ‘latah’ menyekolahkan anaknya hingga setinggi Tugu Monas demi sebuah status tanpa tahu esensi sesungguhnya tentang sekolah. Benarnya status mereka hanya berganti saja, bukan berubah. Dari Sikampret Notojagad menjadi Sikampret Notojagad, M.Si <hanya contoh>. Karena yang dikejar adalah sebuah pergantian status dengan penambahan gelar.
Long Live Education, diklaim sebagai jargonnya mahasiswa PLS. Education for All, jargonnya mahasiswa PLB. Sok voting  saha nu meunang  <piiis ini becandaan aja. Tanpa ada maksud membully>
Sejatinya kita belajar adalah seumur hidup dari kita pertama melihat remang-remang cahaya bumi hingga sampai sebelum raga kita dikebumikan. Dimanapun itu tempatnya kesemuanya adalah tempat dan media pembelajaran kita. Saat kita mulai beranjak menuju suatu tempat dari tempat kita duduk saat ini adalah sebuah kegiatan pembelajaran yang mengaktifkan sebagian besar anggota tubuh kita. Sederhana sekali, tapi dalam kegiatan sepele ini motorik, kognitif, afektif hingga yang fiktif juga ikut berperan dalam proses pencapaian tujuan. Itu artinya kita dapat belajar dari apapun, meskipun hal sederhana.
Jadi belajar bukanlah suatu kegiatan duduk ketika dikelas, mendengarkan, mengerjakan ulangan, membuat PR, ujian, Lulus lantas naik pada jenjang berikutnya. Itu kesemuanya hanyalah formalitas membosankan, yang mungkin pada puncaknya bukanlah ilmu yang dikejar melainka sebuah status. Oyah, sekarang kan ada tuh sekolah alam. Jadi kita belajarnya di kebon kaya gitu biar menyatu dengan alam. Anak tidak jenuh dan stress dan bla bla bla. Itu hanya bahasa lain, inti kegiatan belajarnya masih sama. Cuma anak-anak saja yang tempat belajarnya dipindahkan dari kelas keaalam terbuka.
Berbicara belajar tidak akan pernah berujung, sepertihalnya sedang berbicara tentang cinta. Pada intinya untuk sukses itu tidaklah dibutuhkan gelar sarjana. Gelar sarjana adalah sebuah bukti saja atas pencapaian ‘belajar’ suatu disiplin ilmu yang ingin mereka geluti. Sarjana itu batu loncatan untuk mengawal kita menuju pencapaian sukses seseorang. Entah mereka yang tetap berjalan lurus pada koridor kesarjanaanya itu ataupun dia benar-benar hanya menggunakan gelar sarjana sebagai batu loncatan saja.
Langkah awal menuju sukses adalah bagaimana kita menterjemahkan definisi sukses tersebut. Sukses menurut saya tentu tidak akan sama pengertiannya menurut Pak BeYe. Sukses bukan berarti juga bisa punya mobil Ferrari warna merah loh, bisa juga punya mobil Civic 2000 dikatakan sukses. Sukses adalah nilai (n).  Sukses adalah ketika kita bisa membawa perubahan pada diri untuk lebih baik dalam aspek apapun dari hari kemarin, itu rumus dasarnya. Maka sukses itu (n) tidak terhingga (~).
Tahu sendiri, di Negeri kita tercinta ini tanpa gelar manusia akan termarginalkan. Kaga punya title, pergi aje lo… Yang perlu kita punya atas arus deras system yang bodoh itu adalah sebuah benteng. Jangan menjadi sama oleh kebanyakan orang. Kata guru Matematika SMP saya dulu, “yang banyak belum tentu benar”. Maka benteng itu adalah kita belajar untuk sempurna, kita sekolah untuk pintar bukan untuk dibodohi, untuk gelar apalagi itu status. Jika kesempurnaan ilmu adalah sebuah orientas maka dunialah yang berhak tunduk dibawah kita. Jangan pedulikan setinggi apapun kita pernah belajar. Tapi lihat sejauh mana kita pernah mencoba-gagal dan belajar. Satu kunci di dalam belajar adalah keihklasan dalam hati untuk menjalaninya.
Oke guys, don’t woried about this note. Anggap saja sedang ada season celoteh anak.
Bagaimana dengan saya?
Anggaplah yang saya jalani ini sebuah kompensasi atas sebuah ketaatan. Bodoh sekali jawaban ini, seperti bukan jawaban manusia dari negeri beradab. Saya berada pada titik saat ini yang—telah pada ujung waktunya, adalah sebuah upaya menyeimbangkan neraca untuk mencari titik equilibriumnya hidup. Berada pada sebuah ruangan beratmosfer yang tidak saya butuhkan. Yang ketika saya hirup maka warna tubuhku akan berubah namun ketika saya abaikan maka yang terjadi adalah tubuhku hancur menjadi kepingan tak berupa. Sebuah pilihan sulit. <jika tidak paham maksudnya silakan layangkan pertayaan melalui email, -sok iyeh->
Yang saya lakukan adalah menjadi air. Saya dapat hidup pada atmosfer itu namun saya tidak hancur. Seperti air  yang abstrak, saya hari ini pun tak terlihat warnanya. Mungkin anda akan berpendapat bahwa saya tidak berpendirian, bebas saja.
Diantara kami berlima mungkin ii yang akan menjadi bontot untuk menyandang gelar S.Pd. Awalnya tidak begitu maniak banget akan gelar sarjana terlebih title sarjana pendidikan. Sebuah title yang tidak pernah diimpikan dari awal. Seperti yang pernah saya katakana dulu, meskipun title  sarjana bukanlah segalnya dan manusia di bumi masih bisa hidup walau tanpa ada gelar sarjana dibelakangnya lantas ketika saya sejak 4 tahun silam mengikutsertakan diri mengubah title pelajar menjadi mahasiswa maka untuk saat ini gelar sarjana dan 3 huruf di belakang nama adalah menjadi sebuah tujuan ahir. Dengan saya tidak setepat waktu bersama teman-teman yang lain menyandang gelar sarjana, setidaknya saya punya waktu lebih untuk memikirkan kembali langkah yang telah saya lalui dan mencari jalan terbaik untuk dilalui kelak.
Bahwasanya nama adalah sebuah doa. Ketika kita mendoakan orang lain maka kita sedang meminta kebaikan untuk diri sendiri pula. Hari ini iseng-iseng membubuhkan title pada kontak teman-teman saya diponsel sesuai dengan gelar mereka. Berharap apa yang saya lakukan ini adalah sebuah doa yang dilihat dan diaminkan oleh malaikat sehingga saya juga segera mengikuti jejak mereka. Menjadi sarjana, mengahiri penderitaan. Meskipun so late, saya akan belajar untuk menjadi diri sendiri. Setidaknya belajar untuk sedikit menjadi lebih baik.
Yang akan ditinggikan statusnya adalah mereka yang berilmu, bukan mereka yang memiliki title sarjana di namanya, ini janji Allah.
Robbi Zidni ‘ilman warzuqni fahman_