Diantara kami berlima mungkin
ii yang akan menjadi bontot untuk menyandang gelar sarjana. Awalnya tidak
begitu maniak banget akan gelar sarjana terlebih title sarjana pendidikan.
Sebuah title yang tidak pernah diimpikan dari awal. Seperti yang pernah saya
katakana dulu, meskipun title sarjana bukanlah segalnya dan manusia di
bumi masih bisa hidup walau tanpa ada gelar sarjana dibelakangnya lantas ketika
saya sejak 4 tahun silam mengikutsertakan diri mengubah title pelajar menjadi
mahasiswa maka untuk saat ini gelar sarjana dan 3 huruf di belakang nama adalah
menjadi sebuah tujuan ahir;
Bahwasanya nama adalah sebuah
doa. Ketika kita mendoakan orang lain maka kita sedang meminta kebaikan untuk
diri sendiri pula_
Saya tau persis hal ini, ada imbuhan huruf
di depan atau belakang nama tidak akan mempengaruhi kualitas hidup
seseorang tanpa adanya suatu pemaksimalan usaha untuk menaikan kualitas
tersebut dari diri. Menjadi sarjana
bukan jaminan mutlak. Yang saya tau hari ini, di Negeriku tercinta
Indonesia tidaklah pernah mengenal system kasta dari jaman merdeka hingga
tulisan saya ini di posting. Tapi Negeriku yang eksotis ini rakyatnya menjadi
“budak” kasta lantas latah sarjana, eh latah apapun itu ketang. Mereka anggap (kecuali saya ^^v) ketika nama asli kita
telah dibubuhi kata sarjana akan meningkatkan derajat dan status kita di
masyarakat. Yang semula anak tukang becak maka tetap pula menjadi tukang becak,
ups maap maksudnya yang semula dia direndahkan karena keadaan ekonomi kelas
bawah ketika telah lulus dan menjadi sarjana akan berubah kelas menjadi lebih
tinggi. Yap, itu anggapan semua orang. Lalu, semua dan semua orangpun akan
‘latah’ menyekolahkan anaknya hingga setinggi Tugu Monas demi sebuah status
tanpa tahu esensi sesungguhnya tentang sekolah. Benarnya status mereka hanya
berganti saja, bukan berubah. Dari Sikampret Notojagad menjadi Sikampret
Notojagad, M.Si <hanya contoh>. Karena yang dikejar adalah sebuah
pergantian status dengan penambahan gelar.
Long Live Education, diklaim sebagai jargonnya mahasiswa PLS. Education for All, jargonnya mahasiswa
PLB. Sok voting saha nu meunang <piiis ini becandaan aja. Tanpa
ada maksud membully>
Sejatinya kita belajar adalah seumur hidup
dari kita pertama melihat remang-remang cahaya bumi hingga sampai sebelum raga
kita dikebumikan. Dimanapun itu tempatnya kesemuanya adalah tempat dan media
pembelajaran kita. Saat kita mulai beranjak menuju suatu tempat dari tempat
kita duduk saat ini adalah sebuah kegiatan pembelajaran yang mengaktifkan
sebagian besar anggota tubuh kita. Sederhana sekali, tapi dalam kegiatan sepele
ini motorik, kognitif, afektif hingga yang fiktif juga ikut berperan dalam
proses pencapaian tujuan. Itu artinya kita dapat belajar dari apapun, meskipun
hal sederhana.
Jadi belajar bukanlah suatu kegiatan duduk
ketika dikelas, mendengarkan, mengerjakan ulangan, membuat PR, ujian, Lulus
lantas naik pada jenjang berikutnya. Itu kesemuanya hanyalah formalitas
membosankan, yang mungkin pada puncaknya bukanlah ilmu yang dikejar melainka
sebuah status. Oyah, sekarang kan ada tuh sekolah alam. Jadi kita belajarnya di
kebon kaya gitu biar menyatu dengan alam. Anak tidak jenuh dan stress dan bla
bla bla. Itu hanya bahasa lain, inti kegiatan belajarnya masih sama. Cuma
anak-anak saja yang tempat belajarnya dipindahkan dari kelas keaalam terbuka.
Berbicara
belajar tidak akan pernah berujung, sepertihalnya sedang berbicara tentang
cinta. Pada intinya untuk sukses itu tidaklah dibutuhkan gelar sarjana. Gelar
sarjana adalah sebuah bukti saja atas pencapaian ‘belajar’ suatu disiplin ilmu
yang ingin mereka geluti. Sarjana itu batu loncatan untuk mengawal kita menuju
pencapaian sukses seseorang. Entah mereka yang tetap berjalan lurus pada
koridor kesarjanaanya itu ataupun dia benar-benar hanya menggunakan gelar
sarjana sebagai batu loncatan saja.
Langkah awal menuju sukses adalah bagaimana
kita menterjemahkan definisi sukses tersebut. Sukses menurut saya tentu tidak
akan sama pengertiannya menurut Pak BeYe. Sukses bukan berarti juga bisa punya
mobil Ferrari warna merah loh, bisa juga punya mobil Civic 2000 dikatakan
sukses. Sukses adalah nilai (n). Sukses adalah ketika kita bisa membawa perubahan pada diri untuk lebih baik
dalam aspek apapun dari hari kemarin, itu rumus dasarnya. Maka sukses itu (n) tidak terhingga (~).
Tahu sendiri, di Negeri kita tercinta ini
tanpa gelar manusia akan termarginalkan.
Kaga punya title, pergi aje lo… Yang perlu kita punya atas arus deras system
yang bodoh itu adalah sebuah benteng. Jangan menjadi sama oleh kebanyakan
orang. Kata guru Matematika SMP saya dulu, “yang banyak belum tentu benar”.
Maka benteng itu adalah kita belajar untuk sempurna, kita sekolah untuk pintar
bukan untuk dibodohi, untuk gelar apalagi itu status. Jika kesempurnaan ilmu
adalah sebuah orientas maka dunialah yang berhak tunduk dibawah kita. Jangan
pedulikan setinggi apapun kita pernah belajar. Tapi lihat sejauh mana kita
pernah mencoba-gagal dan belajar. Satu kunci di dalam belajar adalah keihklasan
dalam hati untuk menjalaninya.
Oke
guys, don’t woried about this note. Anggap saja sedang ada season celoteh anak.
Bagaimana
dengan saya?
Anggaplah yang saya jalani ini sebuah
kompensasi atas sebuah ketaatan. Bodoh sekali jawaban ini, seperti bukan
jawaban manusia dari negeri beradab. Saya berada pada titik saat ini yang—telah
pada ujung waktunya, adalah sebuah upaya menyeimbangkan neraca untuk mencari
titik equilibriumnya hidup. Berada pada sebuah ruangan beratmosfer yang tidak
saya butuhkan. Yang ketika saya hirup maka warna tubuhku akan berubah namun
ketika saya abaikan maka yang terjadi adalah tubuhku hancur menjadi kepingan
tak berupa. Sebuah pilihan sulit.
<jika tidak paham maksudnya silakan layangkan pertayaan melalui email, -sok
iyeh->
Yang
saya lakukan adalah menjadi air. Saya dapat hidup pada atmosfer itu namun saya
tidak hancur. Seperti air yang abstrak, saya hari ini pun tak terlihat
warnanya. Mungkin anda akan berpendapat bahwa saya tidak berpendirian, bebas
saja.
Diantara kami berlima mungkin ii yang akan
menjadi bontot untuk menyandang gelar S.Pd. Awalnya tidak begitu maniak banget
akan gelar sarjana terlebih title sarjana pendidikan. Sebuah title yang tidak
pernah diimpikan dari awal. Seperti yang pernah saya katakana dulu, meskipun
title sarjana bukanlah segalnya dan manusia di bumi masih bisa hidup
walau tanpa ada gelar sarjana dibelakangnya lantas ketika saya sejak 4 tahun
silam mengikutsertakan diri mengubah title pelajar menjadi mahasiswa maka untuk
saat ini gelar sarjana dan 3 huruf di belakang nama adalah menjadi sebuah
tujuan ahir. Dengan saya tidak setepat waktu bersama teman-teman yang lain
menyandang gelar sarjana, setidaknya saya punya waktu lebih untuk memikirkan
kembali langkah yang telah saya lalui dan mencari jalan terbaik untuk dilalui
kelak.
Bahwasanya nama adalah sebuah doa. Ketika
kita mendoakan orang lain maka kita sedang meminta kebaikan untuk diri sendiri
pula. Hari ini iseng-iseng membubuhkan title pada kontak teman-teman saya
diponsel sesuai dengan gelar mereka. Berharap apa yang saya lakukan ini adalah
sebuah doa yang dilihat dan diaminkan oleh malaikat sehingga saya juga segera
mengikuti jejak mereka. Menjadi sarjana, mengahiri penderitaan. Meskipun so
late, saya akan belajar untuk menjadi diri sendiri. Setidaknya belajar untuk
sedikit menjadi lebih baik.
Yang
akan ditinggikan statusnya adalah mereka yang berilmu, bukan mereka yang
memiliki title sarjana di namanya, ini janji Allah.
Robbi Zidni ‘ilman warzuqni
fahman_