Semua yang ada di depan mata terlihat
rancu, tak berwarna dan obyeknya pun semaki blur saja seperti gambar yang
diambil menggunkan kamera tua kemudian di blur kan kembali. akan mengundang
tanya siapa saja yang melihatnya, “potret apakah yang ada di depanku”
Layaknya mereka yang berdiri di tengah
kebingungan, lantas akupun masuk lebih jauh kedalam labirin gelap itu, jauh
lebih jauh lagi. Semakin aku jauh melangkah maju kedalam, tak ada yang aku
dapatkan hanya gelap dan kedap. Rasanya sesak sekali, airmataku tak keluar satu
tetespun. Sakit di dalam itu memang susah digambarkan, berbeda ketika kita
terjatuh dari sepeda, kita tau betul apa yang harus kita tangisi.
Tak lama aku merasakan semilirnya angin
yang malu-malu berhembus menghampiriku. Perlahan tapi pasti. Tidak berirama,
kadang sangat halus sehingga siapa saja yang merasakannya merasa terbuai namun
kadang menjadi bencana.
Wahai Mr. Angin, ternyata kau bagian
dari kawanku. Kau datang atas utusan tuanmu ataukah engkau sejenak mampir di
tengah pengembaraan karena melihat gadis kecil tersesat di dalam labirin gelap?
Apapun itu, terimakasih telah membuat
detik yang singkat itu menjadi lebih bermakna oleh hembusan lembutmu.
Ternyata aku mulai terseret hembusanmu,
perlahan dan terlihat sangat menakjubkan. Akan selalu ada hembusan kasih ketika
nafasku sedikit sesak tak bisa bernafas, kau hadirkan Maha Karya Tuhan yang
terindah didepan mata. Lautan luas tak berbatas
Meskipun kau selalu memegang erat
tanganku, aku tau kau angin bertuan. Aku tak mau kau terus menjadi pemberi
angin dalam perjalanan labirinku.
Mr. Angin, ternyata aku sedikit “Jatuh
Cinta” dengan rupamu. Tapi kau adalah angin bertuan…
Terimaksih telah menjadi penyejuk dalam
perjalanan panjang labirinku meski hanya sesaat. Sampaikan salamku untuk
tuanmu, terimaksih telah menyambung sedikit harapan hidupku