Dieng—Tanah
Para Dewa, itu yang saya tahu sejak duduk di Ibtidaiyah dari almarhum Uwa saya.
“Kenapa disebut dengan Tanah Para Dewa Wa?. Karena tanah Dieng di berkati oleh
para Dewa dan para Dewa suka bersemayam di Dieng. Dulu peperangan Barathayudha
juga terjadi di Tanah Dieng”. Itu dongeng yang saya masih ingat ketika masih
kecil. Dulu, saya kira itu benar-benar ada dan terjadi di dunia nyata, tapi
setelah dewasa saya paham jika itu sebuah karya sastra lama yang legendaries dan
sebuah kepercayaan, jadi silahkan bagaimana Anda menilainya. Tapi bagi saya
Dieng adalah Dieng tempat sejuk berjuta cerita, Dataran Tinggi Dieng (DTD)
tempat paling terpencil di Provinsi Jawa Tengah yang banyak orang katakan
inilah syurganya dunia begitu juga dengan saya. Kenapa menjadi syurganya dunia,
jika dilihat secara mendalam dan jauh bukan hanya keindahan alamnya saja yang
membuat Dieng makmur, melainkan sumber dayanya dan itu lah syurga dunia.
Kadang
saat mengingat Dieng seakan rindu pada sesuatu yang “entah itu apa” muncul,
mungkin karena saya terlahir sebagai Anggun (Anak Nggunung) jadi saat merasakan
hawa Dieng seperti sedang di kampung halaman meski pada kenyataannya kampung
halaman saya terletak beberapa puluh kilo dari Dieng. Ya, kampung halaman saya
berada pada hilir sungai Merawu yang berhulu di Gunung Prahu DTD. Berbicara
keindahan Dieng, tidak akan ada manusia yang tidak berdecak kagum olehnya. Suhu
yang kadang dibawah 0°C, berbagai Candi dengan nama-nama Para tokoh pewayangan,
Kawah, telaga, hasil bumi yang melimpah, dan tidak kalah sumber energy tenaga
panas bumi (Geo DIPA) yang mungkin hanya di miliki oleh Dieng saja di
Indonesia. Semua itu adalah sedikit dari Rahmat Alloh yang diturunkan untuk
Dieng, tinggal bagaimana manusia pribumi Dieng mampu menjaga amanah tersebut. Dengan
sejuta keindahan dan kekayaan yang dimiliki tersebut, Dieng juga menyimpan
sejuta misteri dan teka-teki yang sewaktu-waktu dapat mengancam penduduknya.
Seperti pada tahun 1950an, beberapa perkampungan di Dieng tertimbun oleh tanah
akibat longsor yang kemudian banyak legenda yang menceritakan “Desa yang hilang
di Dieng”, atau yang sering terjadi adalah munculnya gas-gas beracun di sekitar
area perkebunan. Gas beracun ditimbulkan dari semacam ”rembesan-rembesan” kawah
di sekitar DTD tersebut, bahayanya gas tersebut tidak berwarna dan berbau
sehingga mampu membahayakan para petani sebab kebanyakan gas tersebut muncul
pada celah-celah lahan pertanian warga. Itulah tanda Kebesaran dan Kuasa Alloh,
agar manusa senantiasa untuk mengingatNya.
Ada satu
hal lagi yang tidak mampu di lepaskan dari Tanah Dieng, yaitu Anak Bajang Dieng
atau penduduk setempat menyebutnya Anak Gembel Dieng. Anak gembel berarti anak
yang memiliki rambut gimbal layaknya Bob Marley namun ini asli dari lahir.
Kelahiran Anak Bajang ini tidak dapat diminta ataupun di tolak, melainkan
pemberian dari Sang Pencipta yang oleh penduduk setempat diyakini sebagai
titisan Nyi Roro Kidul dan sespuh dari Dieng yang dahulu pertama kali melakukan
pembukaan lahan Dieng menjadi pemukiman saat ini (yang masih aneh bagi saya adalah,
apa hubungannya dengan Nyi roro Kidul padahal Dieng itu sangat jauh letaknya
dengan pantai selatan, hehee). Ya inilah mitologi dan budaya yang memperkaya
bumi Nusantara. Rambut tersebut tidak dapat dipotong sampai si anak bajang
tersebut memintaya untuk di potong tanpa di paksa oleh siapapun (biasanya anak
bajang tersebut juga meminta sesuatu sebagai kado atau hadiah). saat pemotongan rambut anak bajang ini akan
dilaksanakan upacara atau pesta rakyat di kampung si anak tersebut tinggal,
pemotong rambut anak tersebut juga dilakukan oleh sesepuh Dieng, konon hanya
keturunan dari pendiri Dieng pula lah yang mampu memotongnya.
Kebanyakan
Penduduk Dieng bermata pencaharian sebagai petani. Hampir sebagian besar di
dataran tinggi Dieng tanahnya di gunakan sebagai lahan pertanian. Tanaman kentang
Dieng menjadi komoditi utama dan sebagai pemasok nasional. Dahulu saat Aliyah,
pernah punya teman yang merupakan asli orang Dieng. Keluarganya bermata
pencaharian bertani layaknya orang Dieng lainnya. Namun bedanya petani kentang
Dieng dengan petani kentang di daerah lainnya adalah cara berfikir mereka. Dari
hasil bumi yang mereka dapatkan, mereka sekolahkan anak-anak hingga perguruan
tinggi dan kelak saat lulus dari perguruan tinggi anak-anak mereka akan kembali
ke Dieng untuk melanjutkan usaha orang tuanya membangun Dieng. Meskipun tidak
semua penduduk Dieng seperti itu. Saat seorang sarjana ahli pertanian kembali
pada kampungnya untuk bertani, maka apa yang akan terjadi? Maka kemakmuran
suatu daerah yang didapatkan, kemakmuran yang memperhatikan ekosistem
lingkungan di daerah sekitar. Ya itulah yang saya dapatkan dari teman saya
dahulu. Mereka merantau jauh untuk mencari ilmu dan kembali untuk mengabdi,
good job guys!
Selain
dari sektor pertanian dan pemandangan alam, suhu Dieng yang lebih sering pada
kisaran 10°C kebawah menjadi keberkahan sendiri oleh segelintir orang. Saat ini
di Dieng Kulon sedang di budidayakan bunganya negeri kincir angin, ya bunga
tulip. Seorang warga Dieng mengembangbiakan bunga Tulip tersebut di Dataran
Tinggi Dieng dengan memanfaatkan suhu yang kadang mencapai -0 tersebut. Habitat
bunga tulip itu sendiri memang pada daerah berhawa sejuk atau dingin, sehingga
sangat cocok sekali untuk di budidayakan di kawasan Dieng tersebut. Jika
pemerintah daerah setempat mampu merangkul para petani tulip untuk
mengembangbiakan lagi secara maksimal tanaman tersebut, tak ayal Dieng mampu
menjadi Holland Van Javanya Indonesia. Jika Garut mampu menjadi Swiss Van Java
nya Indonesia dan Bandung adalah Paris Van Java maka kenapa tidak Dieng Menjadi Holland Van Java.
Pict By: Nadhiroh