Rabu, 21 Januari 2015

untuk di ingat

Bercerita masa kecil memang sangat menyenangkan. Membayangkan kembali saat-saat menyenangkan itu, mengenang detailnya lalu menuliskannya, mungkin seribu episode tidak akan mampu mewakili. Sampai saat ini saya mash mengingat masa kecil saya, hampir semuanya saya masih mengingatnya. Teman sepermainan saat TK, Ibtidaiyah, TPQ, SMP dan Aliyah. Bersyukur sekali memory jangka panjang saya lumayan bagus :D
Barusan, tidak sengaja bercerita tentang masa-masa kecil yang menyenangkan tapi sedikit terkekang bagi saya.
Saat sore hari mengaji di masjid, adalah saat dimana rasanya semua imaginasi di kepala di adukan. Menyenangkan sekali bisa satu meja belajar agama bersama kakak-kakak kelas ketika di sekolah. Menurut saya saat ini, kala itu kastaisasi justru sangat kental terjadi. Siapa anak siapa, siapa cucu siapa dan ending semua itu adalah bukan siapa-siapa jika dia tidak pandai saat di belajar mengaji. Sekali lagi itu intermezzo.
Kenapa saya katakan  belajar di TPQ saat itu adalah saat dimana imajinasi anak diadukan? Jawabannya adalah, kenapa tidak? Alias why not?
Semua gurunya dengan kerelaan dan kesungguhan hati mereka mengajarkan anak-anak kecil yang “bangor” tanpa di bayar. Setelah mereka seharian mencari nafkah atau belajar di sekolah masing-masing, rasanya pergi ke masjid adalah sebuah tempat pulang kedua setelah rumah untuk melepas rasa lelah. Jika di logikakan, bukan rasa lelah yang hilang namun lelah itu sendiri yang didapat, tapi ternyata tidak. Iya, itu hanya imaginasi yang berbicara.
Lalu apa yang kami dapat sebagai “anak-anak kecil”? Ilmu, persahabatan, loyalitas, cinta monyet dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Saya sampai kelas 2 SMP masih belajar di TPQ, sampai pernah waktu wawancara di sebuah pengkaderan saat saya kels 3 SMP instrukturnya terkaget ketika tahu saya masih belajar di TPQ ahahaa. Ilmu yang saya dapatkan saat belajar TPQ sangat berguna apalagi saya yang melanjutkan di sekolah lanjutan Negeri yang ilmu agama hanya diajarkan secukupnya saja.
Bukan hanya ilmu agama yang kami dapat di TPQ, tapi sesekali kita diajarkan menari kala itu lagu2 pengiringnya adalah album Cinta Rosul Hadad Alwi dan Sulis, kadangkala kami diajari pula bermain rebana. Iya, saya ingat betul betapa bahagianya masa kecil saya saat itu.
Semangat pergi mengaji akan sangat terasa ketika ada event2 di tingkat kecamatan ataupun Kabupaten, kami menyebutnya sebagai Festival Anak Sholeh atau SAS yang saya lupa lagi singkatan apa. Banyak sekali perlombaan yang diujikan, cerdas cermat agama, lomba sholat, hafalan juz 30, kaligrafi dan masih banyak lagi yang kesemua lomba itu diawali dengan arak-arakan pawai ta’aruf.
Pernah suatu ketika, saat saya mengikuti salah satu lomba yaitu lomba hafalan juz 30. Saya belum pernah mengikuti lomba tersebut sebelumnya, rasa takut untuk tidak mendapatkan juara saat itu sangat membayang-bayangi. Tapi ada sedikit kebanggaan bagi saya saat ini ketika mengingatnya kembali, setiap sholat dan membaca surah Al Humazah rasanya saya mampu kembali ke masa lalu ketika sedang belajar hafalan juz 30 bersama Bpk. Kamid. Asli, saya tidak berbohong. Saya mampu kembali ke masa entah berapa tahun yang lalu, meskipun saat itu hanya mendapatkan juara 3. Saya juga masih mengingat dengan jelas saat memenangkan juara 1 lomba cerdas cermat bersama Arum dan Kiki, bukan tentang juara 1 melainkan bagaimana semangat kami yang besar untuk belajar dan menghafal.
Tidak sebatas itu, kami akan selalu semangat ketika sore hari harus pergi berlatih gerakan menari di mesjid. Bagi saya dan tinung itu berarti kami harus pergi lebih awal ke masjid karena rumah kami yang sedikit jauh. Team tari Cinta Rosul TPQ kami sangat terkenal, seringkali di panggil sebagai hiburan pembuka pengajian bulanan di beberapa tempat. Sekali lagi, kami tak pernah di bayar tapi bahagia kami saat itu sungguh tidak terbayarkan.
Jika dihitung sekarang, betapa menyesalnya tidak dengan serius belajar agama kala itu. Hari ini Cuma bisa mengingat beberapa saja pelajaran yang telah diajarkan, yang kenyataannya pelajaran yang kami dapatkan saat itu berkurikulum madrasah ibtidaiyah. Jadi sebelum diajarkan di sekolah sudah saya dapatkan terlebih dahulu ketika di TPQ.
Puncak dari kebahagiaan kami adalah ketika dipenghujung Ramadhan, saat semua handai taulan yang jauh berkumpul semua dikampung halaman. Merayakan malam hari Raya dengar bertakbir dan pawai di masjid. Sebagai seorang anak kecil saat itu, kebahagiaan mana lagi yang harus dicari saat semua tawa dan senyum kawan-kawan bisa terlihat jelas didepan mata.
Inilah sebagian kecil dari “imajinasi” yang saya katakan diatas. Mungkin generasi kamilah yang terahir mewarisi generasi emas tersebut. Setelah generasi kami, belum pernah lagi rasanya mendengar yang seperti itu. Ya, generasi yang belum mengenal gadget seperti anak-anak saat ini. Namun sayang sekali masa indah yang masih lekat di ingatan itu rasanya cepat sekali berlalu.
Semoga Alloh SWT memberikan pahala serta balasan yang tiada batasnya kepada mereka yang telah ikhlas dan sukarela membagikan ilmu-ilmunya kepada kami

Sabtu, 17 Januari 2015

kala itu, yang sangat aku rindu



Adakalanya aku ingin waktu berhenti, seperti halnya ketika orang yang kita cintai pergi
Aku tidak ingin melihat dan mempercayainya,
Tapi dia memang pergi
Adakalanya aku ingin waktu berhenti, karena  saat bersamamu dulu adalah saat terbaik dalam hidupku
Bapak, aku sudah tidak perlu kau jemput lagi di ujung jalan itu. Meskipun aku takut gelap tapi aku sudah bisa mengatasinya
Aku hanya ingin kau datang seperti sore itu, melihat senyummu beradu dengan senja. Menjagaku dengan caramu dan mencintaiku dengan sifatmu
Aku sudah tak butuh kau gendong lagi di punggungmu karena sekarang aku sudah dapat berlari, aku hanya butuh waktu untuk mengucapkan terimakasih  padamu
Adakalanya  aku ingin hentikan waktu di sore itu, membiarkan hujan jatuh sebelum senja datang membiaskan semua tangis biru
Aku ingin waktu berhenti sebelum senja datang sore itu, aku hanya ingin sekedar bersimpuh dan mencium tanganmu. Menghaturkan terimkasih yang dalam sebelum kau pulang
saat senja itu datang lebih awal, hanya ada kata maaf di bibirku lantas mencium pipimu
Hingga saat ini aku berdiri, aku hanya ingin kembali kepada senja itu. Mengenangmu sebagai pahlawan di dalam hidupku

menangislah...


Ada saatnya menangis adalah hal yang paling tepat untuk mengekspresiakan kekosongan hari dan ketidakpastian akan hari esok.
Seakan semua pahit racun dalam tubuh ikut luruh bersama airmata yang menetes.
Iya menangis adalah hal luar biasa, tidak semua orang mampu menangis.
Sejuta rasa akan didapat setelah mampu mengeluarkan semua airmata, airmata yang berhulu dari hati yang terdalam, dialah yang mampu menciptakan sejuta rasa.
Aku masih tidak tahu kenapa mereka selalu mengira bahwa aku adalah wanita kuat yang tidak pernah bersedih. Nyatanya aku adalah gadis yang mudah menangis, oleh apapun itu. Bahkan ketika melihat temanku bahagia rasanya airmatapun tak ingin kalah.
Jadi, menangis itu bukan karena sedang sedih. Tapi bagiku menangis adalah sebuah ekspresi dari sebuah emosi. Disaat memang hati rasanya ingin menyerah terhadap persoalan-persoalan hidup, menangislah sejenak. Menjadi seperti anak kecil yang menangis meminta balon kepada ibunya, dan posisikan itu dihadapan Tuhan.
Semua kekhawatiran dan beban hidup spontan akan menjadi lebih ringan dan terang :D

Menangislah selagi kau bisa