Bercerita
masa kecil memang sangat menyenangkan. Membayangkan kembali saat-saat
menyenangkan itu, mengenang detailnya lalu menuliskannya, mungkin seribu episode
tidak akan mampu mewakili. Sampai saat ini saya mash mengingat masa kecil saya,
hampir semuanya saya masih mengingatnya. Teman sepermainan saat TK, Ibtidaiyah,
TPQ, SMP dan Aliyah. Bersyukur sekali memory jangka panjang saya lumayan bagus
:D
Barusan,
tidak sengaja bercerita tentang masa-masa kecil yang menyenangkan tapi sedikit
terkekang bagi saya.
Saat sore
hari mengaji di masjid, adalah saat dimana rasanya semua imaginasi di kepala di
adukan. Menyenangkan sekali bisa satu meja belajar agama bersama kakak-kakak
kelas ketika di sekolah. Menurut saya saat ini, kala itu kastaisasi justru
sangat kental terjadi. Siapa anak siapa, siapa cucu siapa dan ending semua itu
adalah bukan siapa-siapa jika dia tidak pandai saat di belajar mengaji. Sekali lagi
itu intermezzo.
Kenapa saya
katakan belajar di TPQ saat itu adalah
saat dimana imajinasi anak diadukan? Jawabannya adalah, kenapa tidak? Alias why
not?
Semua gurunya
dengan kerelaan dan kesungguhan hati mereka mengajarkan anak-anak kecil yang “bangor” tanpa di bayar. Setelah mereka
seharian mencari nafkah atau belajar di sekolah masing-masing, rasanya pergi ke
masjid adalah sebuah tempat pulang kedua setelah rumah untuk melepas rasa
lelah. Jika di logikakan, bukan rasa lelah yang hilang namun lelah itu sendiri
yang didapat, tapi ternyata tidak. Iya, itu hanya imaginasi yang berbicara.
Lalu apa
yang kami dapat sebagai “anak-anak kecil”? Ilmu, persahabatan, loyalitas, cinta
monyet dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Saya sampai
kelas 2 SMP masih belajar di TPQ, sampai pernah waktu wawancara di sebuah
pengkaderan saat saya kels 3 SMP instrukturnya terkaget ketika tahu saya masih
belajar di TPQ ahahaa. Ilmu yang saya dapatkan saat belajar TPQ sangat berguna
apalagi saya yang melanjutkan di sekolah lanjutan Negeri yang ilmu agama hanya
diajarkan secukupnya saja.
Bukan hanya
ilmu agama yang kami dapat di TPQ, tapi sesekali kita diajarkan menari kala itu
lagu2 pengiringnya adalah album Cinta Rosul Hadad Alwi dan Sulis, kadangkala
kami diajari pula bermain rebana. Iya, saya ingat betul betapa bahagianya masa
kecil saya saat itu.
Semangat pergi
mengaji akan sangat terasa ketika ada event2 di tingkat kecamatan ataupun
Kabupaten, kami menyebutnya sebagai Festival Anak Sholeh atau SAS yang saya
lupa lagi singkatan apa. Banyak sekali perlombaan yang diujikan, cerdas cermat
agama, lomba sholat, hafalan juz 30, kaligrafi dan masih banyak lagi yang
kesemua lomba itu diawali dengan arak-arakan pawai ta’aruf.
Pernah
suatu ketika, saat saya mengikuti salah satu lomba yaitu lomba hafalan juz 30. Saya
belum pernah mengikuti lomba tersebut sebelumnya, rasa takut untuk tidak
mendapatkan juara saat itu sangat membayang-bayangi. Tapi ada sedikit kebanggaan
bagi saya saat ini ketika mengingatnya kembali, setiap sholat dan membaca surah
Al Humazah rasanya saya mampu kembali ke masa lalu ketika sedang belajar hafalan
juz 30 bersama Bpk. Kamid. Asli, saya tidak berbohong. Saya mampu kembali ke
masa entah berapa tahun yang lalu, meskipun saat itu hanya mendapatkan juara 3.
Saya juga masih mengingat dengan jelas saat memenangkan juara 1 lomba cerdas
cermat bersama Arum dan Kiki, bukan tentang juara 1 melainkan bagaimana
semangat kami yang besar untuk belajar dan menghafal.
Tidak sebatas
itu, kami akan selalu semangat ketika sore hari harus pergi berlatih gerakan
menari di mesjid. Bagi saya dan tinung itu berarti kami harus pergi lebih awal
ke masjid karena rumah kami yang sedikit jauh. Team tari Cinta Rosul TPQ kami
sangat terkenal, seringkali di panggil sebagai hiburan pembuka pengajian
bulanan di beberapa tempat. Sekali lagi, kami tak pernah di bayar tapi bahagia
kami saat itu sungguh tidak terbayarkan.
Jika dihitung
sekarang, betapa menyesalnya tidak dengan serius belajar agama kala itu. Hari ini
Cuma bisa mengingat beberapa saja pelajaran yang telah diajarkan, yang
kenyataannya pelajaran yang kami dapatkan saat itu berkurikulum madrasah
ibtidaiyah. Jadi sebelum diajarkan di sekolah sudah saya dapatkan terlebih
dahulu ketika di TPQ.
Puncak dari
kebahagiaan kami adalah ketika dipenghujung Ramadhan, saat semua handai taulan
yang jauh berkumpul semua dikampung halaman. Merayakan malam hari Raya dengar
bertakbir dan pawai di masjid. Sebagai seorang anak kecil saat itu, kebahagiaan
mana lagi yang harus dicari saat semua tawa dan senyum kawan-kawan bisa
terlihat jelas didepan mata.
Inilah
sebagian kecil dari “imajinasi” yang saya katakan diatas. Mungkin generasi
kamilah yang terahir mewarisi generasi emas tersebut. Setelah generasi kami,
belum pernah lagi rasanya mendengar yang seperti itu. Ya, generasi yang belum
mengenal gadget seperti anak-anak saat ini. Namun sayang sekali masa indah yang
masih lekat di ingatan itu rasanya cepat sekali berlalu.
Semoga Alloh
SWT memberikan pahala serta balasan yang tiada batasnya kepada mereka yang
telah ikhlas dan sukarela membagikan ilmu-ilmunya kepada kami