Sabtu, 30 Agustus 2014

Tentang suara kehilangan



Pernahkah sekali saja kau mendengar ayahmu mengeluh sakit di dadanya?
Aku rasa tidak
Pernahkan kau mendengar pria itu mengucap kata lelah dari mulutnya?
Aku rasa itu tidak mungkin
Ayah akan lebih memilih duduk dirimbunnya pepohonan senja dari pada menunjuka rasa sakitnya
Ayah akan mengalihkan lelahnya itu dengan bermain dan tertawa denganmu
Mendengarkan kesahmu, melipat semua gundahmu dan menghadiahkan keceriaan
Sekalipun! Tak ingin melihat tawamu hari ini terulang esok
Ayah hanya mengajarkan putra-putrinya tersenyum dengan ketegaran,
Ayah meniupkan kasihnya pada kita melalui ketegasan,
Berbeda dengan ibu yang setiap malam membelai kita dengan kehalusan, ayah hanya mampu mengajarimu dan tersenyum dari balik pintu
Sekalipun! Tak ingin melihat tawamu hari ini terulang esok
Karena seorang ayah hanya akan bangka mengulas senyumnya ketika anaknya tersenyum dimuka
Yakinlah seorang ayah tidak akan pernah memujimu hingga mencium keningmu kecuali ibumu
Bahagiamu adalah indah baginya
Sekalipun! Tak ingin melihat tawamu hari ini terulang esok
Karena seorang ayah hanya mau melihat senyum putra-putrinya yang baru, bukan senyum seperti senja kemarin
Saat kau menangis, bukan ayahmu tak ingin menyeka air matamu
Melainkan seorang ayah tak tega tangan kasarnya menyentuh wajah lembutmu, hanya ibu yang mampu menyapu kesedihanmu itu
Kau tau, jika kau menitikkan airmata maka ayahmu rela bersimbah agar matamu tak basah
Bertahun kau membuatku tertawa, mengukirkan ceria bersama senja, menyapu sedihku dan menggantinya dengan tawa
Sedetikpun kau tak izinkan aku melalukan hal serupa padamu,
Hingga hari ini hanya satu yang tak ingin kulupa selamanya, kau pernah tersenyum tulus padaku
Sungguh!! Ayah aku rindu kau ajarkan mengeja huruf Alif Ba Ta di ujung senja

Senin, 25 Agustus 2014

Her name is Anggi



Selasa pagi, sebelum Subuh sudah rapih dan wangi. Setelah sholat Subuh dan sarapan segelas madu hangat langsung cuss ke Sekolah baru yang jaraknya patut di syukuri, sebab di luar sana masih banyak guru yang harus menempuh medan ekstrem demi berbagi ilmu.
Jam 6 lebih sudah tiba disekolah yang di maksud, Sekolah Dasar unggulan di kawasan tersebut. Tidak lebih dari jam 6.30 sekolah sudah ramai oleh siswa siswi. Saya mengikuti guru lainnya menjemput siswa siswi di depan gerbang dan menyalaminya. Tanpa alasan dan maksud apapun, karena status saya freelance  baru jadi saya harus mampu menyesuaikan diri dengan kebiasaan di sekolah tersebut.
Oya, saya tidak mengajarkan mata pelajaran di sekolah ini atau menjadi guru kelas, tapi status saya adalah Guru Pendamping Khusus. Kenapa disebut dengan Guru Pendamping Khusus atau GPK? Saya tidak akan menjelaskanya disini,
Tanpa di komando sebelum pukul 7 siswa-siswi kelas 2A sudah berbenah dan siap dengan seragam olah raga mereka, tepat pukul 7.00 hingga 7.15 siswa-siswi dibiasakan untuk tadarus Al Quran bagi yang beragama muslim, karena kelas 2A jam pertama adalah pelajaran olahraga mereka tetap melakukan tadarus bersama di kelas dengan di pandu oleh guru kelas.
Semua telah memulai tadarus, saya masih berdiri di depan kelas dan siap dengan kostum olahraga saya.
Beberapa saat kemudian, datang seorang ibu cantik memakai blue jeans dan blazzer hitam dengan baju dasar kaos gucci. Make upnya minimalis, beliau terlihat smart dan anggun.
Beliau sedikit berlari ke arah saya, menuntun gadis kecil lengkap dengan kostum olahraganya. Semakin mendekat semakin terlihat ibu itu tersenyum ke arah saya “ini pasti ibu Sri Agus yah? Maaf Anggi telat bangun tadi”
Iya, yang saya tunggu sejak pukul 6.30 adalah dia. Dia yang membuat saya ada di sekolah unggulan ini Anggi Aprillian Az Zahra.
“Iya ibu.. paggil saja saya ii”
Anggi gadis itu masih tersenyum lebar, setengah berlonjak kegirangan lantas menyalami saya.
Kegiatan selanjutnya adalah menenangkan Anggi, dia menangis karena di tinggal bundanya. Bunda Anggi bekerja sebagai advokat di sebuah PPAT di daerah Jalan Suci. Dulu selama setahun sebelum saya berada disini, kegiatan menenangkan Anggi jika menangis di tinggal bundanya adalah tugas baby sitternya. Bukan tugas guru.
Menangisnya hanya sesaat. Selebihnya kita asyik lempar-tangkap bola bersama-sama.
2 jam berlalu. Anggi sudah rapi dengan seragam Merah Putihnya dan duduk istirahat di bangku bawah pohon.
Dia tak ada teman bermain. Anggi yang masih disuapin oleh baby sitternya terlihat nyaman. Saya hanya melihatnya dari depan pintu ruang guru.
Saat diruang kelas.
Teman Anggi 1: “ibu ii, kok mau sih ngajarin Anggi? Dia ka ga bisa baca. Dia kalau nulis harus pakai ackrilik”
Teman Anggi 2: “ Ibu ii, kenapa sih muka Anggi kaya monyet?”
Teman Anggi 3: “ eh ibu ii, tau ga kalau kita panggil Anggi itu siapa?”
Aku : “siapa emang?”
Teman Anggi 3: (sambil berbisik) “simon. Simonyet”
Lalu mereka nyengir.
Asli, saya langsung berkaca-kaca. Yaa Gustiii
Anggi Aprillia Az Zahra—dia pengidap down sindrome. Anak pertama dari pasangan super sibuk ayah sama bundanya. Dulu ketika mengandung Anggi, ibunya pernah flu dan meminum obat-obatan warung tanpa resep dokter. Karena jarak rumah kantor yang lumayan jauh, ibu Anggi seringkali kecapean. Saat usia 8 bulan di kandungan, ibu Anggi pernah mengalami pendarahan tanpa sebab. Anggi terlahir normal dengan usia kandungan yang telah matang. Down sindrome adalah suatu kelainan genetik pada kromosom 21 atau 23 ( maaf jika salah), jadi tidak ada keterkaitan antara kelahiran seorang anak yang mengidap down syndrome dengan sebuah kutukan.
Yang perlu kita ketahui adalah, mereka sama seperti kita. Memiliki hak hidup yang layak selayaknya kita yang menyebutkan diri sebagai manusia normal. Tak ada bedanya. Mereka yang seperti Anggi tak ingin di jauhi, mereka hanya ingin berteman dan bersosialisasi. Tidak ingin dikasihi, mereka hanya butuh pengakuan bahwasanya mereka itu ada sebagai bagian dari masyarakat.
Sebuah penolakan di dalam keluarga yang mendapatkan ‘anugrah’ tersebut awalnya pasti ada. Bahkan tidak sedikit yang berahir pada traffiking dan penelantaran pada panti sosial. Begitu pula dengan Bunda Anggi—sedikit bercerita, dia merasa sedang di kutuk oleh Sang Maha Pemberi Hidup yang berahir dengan menghujatNya. Selama 3 tahun, Anggi tidak diperkenalkan bundanya kepada sapapun bahkan beliau trauma untuk memiliki keturunan kembali. Parahnya dengan hadirnya Anggi tersebut, justru menjadi perpecahan rumah tangga beliau. Bunda Anggi kekeuh, kondisi Anggi saat ia terlahir adalah dosa masa lalu suaminya yang di karmakan kepada anak mereka. Begitu pula dengan ayah Anggi, beliau menuduh bunda Anggi (maaf) selingkuh sehingga mereka dikarunia putri down sindrome. Sekali lagi, down syndrome bukanlah kutukan ataupun keturunan melainkan adanya ketiksempurnaan kromosome didalam membelah diri. Anggi hanya dirawat oleh baby sitter.
Disinilah diperlukannya peranan wanita cerdas. Karena gagalnya rumah tangga, beliau tidak ingin berdiam diri saja. Sebab jauh sebelum Anggi terlahir beliau memimpikan Anggi sebagai anak yang talented. Hingga suatu waktu bunda Anggi menemukan sebuah komunitas bagi orang tua yang memiliki anak pengidap down syndrome.
“ dari sini saya sadar bu ii, bahwa anak itu ujian buat ibunya. Sepandai atau sebodoh apapun anak kita dia tetaplah ujian. Tinggal bagaimana kita mampu menyelesaikan program ujian tersebut. Bu ii pernah nyontek kan sewaktu ujian. Disini juga saya ingin menyontek dan berguru lebih dari ibu-ibu lain yang memiliki anak luar biasa seperti Anggi”
Subhanallah.. wanita itu memang wajib cerdas.
“dari sini saya mulai tahu tentang Anak Luar Biasa (Anak berkebutuhan khusus). Saya browsing2, ternyata bukan saya saja yang dianugerahi anak seperti mereka. Betapa hebatnya mereka yang mampu mengantarkan anak luar biasanya menjadi anak yang talented dengan keluarbiasaannya. Mereka itulah wanita cerdas sesungguhnya, bu ii”
Dari sejak saat itulah bunda Anggi membesarkan anggi sendiri tanpa sosok ayah. Beliau selalu yakin dan meyakini bahwa apa yang dilakukannya tersebut adalah sebuah pengabdian.
“apa yang kita lakukan dan kondisi kita sangat berpengaruh pada perkembangan psikologis anak bu, itu yang saya baca. Saya masih belum faham dengan itu. Tapi saya pernah mengalaminya, Anggi selalu lebih peka terhadap kondisi saya. Dia akan susah diatur jika kondisi saya saat memerintahkannya dalam suasana kacau”
“saya tidak peduli bahkan saya bangga ketika Anggi mengamuk atau merusak tanaman bunga milik tetangga saya. Saya akan lebih legowo untuk menggantinya, berapapun itu. Itu saat-saat dimana Anggi membutuhkan untuk sebuah pengakuan. Tapi hati saya hancur bu ii, ketika disekolah Anggi tidak diperhatikan oleh guru-gurunya dan tidak memiliki kawan. Apa salah anak saya? Sanking saya sayangnya pada Anggi, saya juga ikut bergabung dengan organisasi yang diampu oleh ibu walikota ( Ibu Dada Rosyada) untuk mengkampanyekan Anak-Anak Berkebutuhan Khusus bahwa mereka itu sama. Saya hanya berharap satu, Anggi bisa diterima oleh orang-orang disekitarnya termasuk keluarga saya”
“sekarang saya bertanya pada ibu ii, kenapa ibu ii mengambil jurusan PLB saat masuk perguruan tinggi?”
Saya tidak menjawabnya, dan senyum memaksakan
“apapun jawaban ibu ii, pasti alasannya karena ibu care sama mereka. Mereka yang tidak bisa melihat, mendengar, berbicara, membaca apapun itu pasti alasan ibu karena care. Jika sebagian remaja saja bisa ikhlas untuk merelakan masa depannya dengan mengabdi untuk anak-anak luar biasa, mengapa kebanyakan disana sangat susah untuk menerima anak saya sebagai kawannya?”
------------------------------------------------------------------------------

Yaa Kholiq... Ya Kholiq... Yaa Kholiq...
Kenapa ridhomMu sungguh susah didapatkan? Kenapa hidayah itu sangat jauh dari saya? Kenapa untuk sekedar bersyukur dan meluruskan niat itu terasa sangat sulit? Sedangkan beribu kebaikan dan ladang ikhlas telah terbentang sejauh mata memandang
Apa yang kau sangkakan padaku itu salah Bunda Anggi... semoga saya selalu diberikan kesempatan untuk kembalikan meluruskan niat dan memperbaiki diri
Terimakasih my Anggi pernah mengenalmu sejauh saya bisa. Semoga semangat-semangatmu tidak pernah surut dan menjadi sumber semangat bagi saya yang harus belajar dari kisah hidupmu agar suatu saat memang benar-benar pantas untuk menyandang nama ibu guru sebelum nama saya. Semoga kita masih dipertemukan dilain kesempatan.


Catatan kuliah Hambatan Interaksi Komunikasi, Bandung 2012






Minggu, 24 Agustus 2014

Yang Tak Tergantikan



Saya dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Bojongpicung di Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat, pada 22 Agustus 1986. Hari itu Jumat yang terik, begitu ibu saya bercerita. Sekitar pukul 13.25, saat orang-orang pulang shalat Jumat, nenek adalah orang pertama yang memangku tubuh mungil saya. Ia bisikkan hamdalah pertama di telinga saya. Saya bisa membayangkan senyumnya ketika itu, yang kemungkinan besar masih sama seperti senyumnya yang sekarang. Senyum yang tak tergantikan.    

Hari ini usia saya genap 28 tahun. Saya bisa memanfaatkan hari ini untuk bercerita tentang apa saja dari hidup saya selama dua puluh tujuh tahun terakhir. Saya bisa bercerita tentang Ii, begitu saya memanggil ibu saya. Saya bisa bercerita tentang ayah. Atau apapun saja. Tetapi hari ini saya ingin menuliskan sesuatu untuk nenek saya, perempuan mulia yang tanpanya saya tak mungkin terlahir ke dunia ini. Perempuan yang tak tergantikan.

Bukan semata karena nenek yang membantu persalinan ibu ketika melahirkan saya. Tetapi lebih dari itu. Nenek adalah sumber bagi hadirnya kasih sayang ibu dalam kehidupan saya. Ini barangkali terlihat sederhana. Tapi coba bayangkan sekali lagi. Tanpanya, yang melahirkan sekaligus membesarkan ibu saya dengan cinta, saya tak mempunyai musabab untuk bisa terlahir ke dunia. Barangkali saya tak akan pernah ada. Jalan hidup saya dimulai dari jalan hidup ibu saya dan jalan hidup ibu dimulai dari pilihan-pilihan yang dibuat oleh ibunya. Dialah nenek saya: Manusia biasa yang secara luar biasa terus menghubungkan saya ke masa lalu—ke sumber-sumber kehidupan yang barangkali tak bisa saya lacak dan bayangkan lagi… Jalan hidup yang tak tergantikan.

Hari ini Jumat, 22 Agustus 2014. Waktu barangkali hanya satuan angka-angka yang tak bermakna jika kita hanya memandangnya dari kalender atau jarum jam yang bergerak dalam arloji. Waktu hanya durasi. Dan saya telah mengulang-ulang tanggal kelahiran saya untuk kedua puluh delapan kalinya. Tetapi itu “waktu mati”, apa gunanya waktu mati jika tak kita maknai dengan “waktu hidup”? Waktu hidup yang tak tergantikan.

Saya membuka sebuah pintu dalam kamar ingatan saya, memasuki waktu hidup saya. Selalu ada nenek di sana. Meski kami tak punya waktu-waktu panjang untuk bersama-sama, selalu ada nenek dalam setiap sudut kehidupan saya. Nenek selalu bercerita dan berpesan dengan caranya sendiri. Meski barangkali kita hanya bertemu satu tahun sekali, setiap lebaran. Tetapi percakapan-percakapan dengan nenek selalu penting. Pecakapan-percakapan yang tak tergantikan.

Saya ingat suatu hari mengendap masuk ke kamarnya yang tua dan lembab. Saya duduk di atas sajadah tempatnya berdoa. Mata saya mengamati apapun saja yang ada di sana. Al-Quran, doa-doa, tasbih dan catatan nama-nama. Saya masih ingat wajah nenek yang tersenyum ke arah saya yang masih empat belas atau lima belas tahun, “Doakan nenek,” katanya lembut, sambil mengusap-usap rambut saya. Saya menggelengkan kepala. Tersenyum malu. Saya membaca nama saya di salah satu daftar nama yang dituliskan nenek untuk didoakan, anak-anak dan cucu-cucunya. Hari ini saya membayangkan doa-doa itu dibacakan nenek selama bertahun-tahun. Doa-doa yang tak tergantikan.

Di antara berbagai kebahagiaan dan keberhasilan yang saya dapatkan dalam hidup ini, berapa banyak yang sebenarnya berasal dari doa-doa nenek? Saya ingat hari ketika saya membawa calon istri saya ke rumah. Waktu itu nenek sedang berada di rumah orangtua saya di Bandung. Setelah calon istri saya pulang, kedua orangtua saya tak memberikan komentar apa-apa tentang Rizqa. Saya kecewa setengah mati, saya ragu orangtua saya menyukai Rizqa. Tetapi nenek adalah orang pertama yang membesarkan hati saya. Nenek mengatakan pada saya bahwa dia menyukai Rizqa. Tersebab nenek, barangkali, orangtua saya pada akhirnya mengizinkan saya menikahi Rizqa. Perempuan yang tak mungkin tergantikan dalam hidup saya.

Hari ini udara Melbourne begitu cerah. Saya mendapatkan berbagai ucapan bahagia dari teman-teman, sahabat dan banyak orang lainnya. Tetapi saya mendapatkan kabar sedih tentang nenek saya. Sudah beberapa hari sakit nenek bertambah parah. Di usianya yang sudah 85 tahun, hari ini saya merasa berulang tahun di situasi yang salah. Saya ingin bisa berada di samping nenek, bercerita tentang apa saja, meminta doa apa saja, mendekap tubuh mulianya, membelai rambut-rambut peraknya. Saya tak ingin kehilangan cinta dan kasih sayangnya yang tak tergantikan.

Ya Allah, jika saya punya sedikit saja kebaikan yang pernah saya lakukan dalam hidup ini, terimalah kebaikan itu. Maka izinkan saya meminta-Mu untuk membalasnya saat ini juga, dengan cara apapun saja, sembuhkanlah sakit nenek saya dan berikan keselamatan serta kebahagiaan dari cahaya-Mu sebanyak-banyaknya. Ya Allah, untuk doa kebaikan apapun saja yang saya terima hari ini dari siapapun saja, limpahkanlah semua doa itu untuk nenek saya… Dengan cara apapun saja yang Engkau pilih.

Untuk kalian semua, terima kasih telah turut membaca catatan ulang tahun saya ini. Terima kasih telah turut berdoa dan mengaminkan doa saya. Momen ini tak tergantikan.


Cianjur 1986- Melbourne 2014

repost from  http://fahdpahdepie.com/post/95421825462/yang-tak-tergantikan