Selasa pagi, sebelum Subuh sudah rapih dan
wangi. Setelah sholat Subuh dan sarapan segelas madu hangat langsung cuss ke
Sekolah baru yang jaraknya patut di syukuri, sebab di luar sana masih banyak
guru yang harus menempuh medan ekstrem demi berbagi ilmu.
Jam 6 lebih sudah tiba disekolah yang di maksud,
Sekolah Dasar unggulan di kawasan tersebut. Tidak lebih dari jam 6.30 sekolah
sudah ramai oleh siswa siswi. Saya mengikuti guru lainnya menjemput siswa siswi
di depan gerbang dan menyalaminya. Tanpa alasan dan maksud apapun, karena
status saya freelance baru jadi saya
harus mampu menyesuaikan diri dengan kebiasaan di sekolah tersebut.
Oya, saya tidak mengajarkan mata pelajaran di
sekolah ini atau menjadi guru kelas, tapi status saya adalah Guru Pendamping
Khusus. Kenapa disebut dengan Guru Pendamping Khusus atau GPK? Saya tidak akan
menjelaskanya disini,
Tanpa di komando sebelum pukul 7 siswa-siswi
kelas 2A sudah berbenah dan siap dengan seragam olah raga mereka, tepat pukul
7.00 hingga 7.15 siswa-siswi dibiasakan untuk tadarus Al Quran bagi yang
beragama muslim, karena kelas 2A jam pertama adalah pelajaran olahraga mereka
tetap melakukan tadarus bersama di kelas dengan di pandu oleh guru kelas.
Semua telah memulai tadarus, saya masih berdiri
di depan kelas dan siap dengan kostum olahraga saya.
Beberapa saat kemudian, datang seorang ibu
cantik memakai blue jeans dan blazzer hitam dengan baju dasar kaos gucci. Make upnya
minimalis, beliau terlihat smart dan anggun.
Beliau sedikit berlari ke arah saya, menuntun
gadis kecil lengkap dengan kostum olahraganya. Semakin mendekat semakin
terlihat ibu itu tersenyum ke arah saya “ini pasti ibu Sri Agus yah? Maaf Anggi
telat bangun tadi”
Iya, yang saya tunggu sejak pukul 6.30 adalah
dia. Dia yang membuat saya ada di sekolah unggulan ini Anggi Aprillian Az
Zahra.
“Iya ibu.. paggil saja saya ii”
Anggi gadis itu masih tersenyum lebar, setengah
berlonjak kegirangan lantas menyalami saya.
Kegiatan selanjutnya adalah menenangkan Anggi,
dia menangis karena di tinggal bundanya. Bunda Anggi bekerja sebagai advokat di
sebuah PPAT di daerah Jalan Suci. Dulu selama setahun sebelum saya berada
disini, kegiatan menenangkan Anggi jika menangis di tinggal bundanya adalah
tugas baby sitternya. Bukan tugas guru.
Menangisnya hanya sesaat. Selebihnya kita asyik
lempar-tangkap bola bersama-sama.
2 jam berlalu. Anggi sudah rapi dengan seragam
Merah Putihnya dan duduk istirahat di bangku bawah pohon.
Dia tak ada teman bermain. Anggi yang masih
disuapin oleh baby sitternya terlihat nyaman. Saya hanya melihatnya dari depan
pintu ruang guru.
Saat diruang kelas.
Teman Anggi 1: “ibu ii, kok mau sih ngajarin
Anggi? Dia ka ga bisa baca. Dia kalau nulis harus pakai ackrilik”
Teman Anggi 2: “ Ibu ii, kenapa sih muka Anggi
kaya monyet?”
Teman Anggi 3: “ eh ibu ii, tau ga kalau kita
panggil Anggi itu siapa?”
Aku : “siapa emang?”
Teman Anggi 3: (sambil berbisik) “simon. Simonyet”
Lalu mereka nyengir.
Asli, saya langsung berkaca-kaca. Yaa Gustiii
Anggi Aprillia Az Zahra—dia pengidap down
sindrome. Anak pertama dari pasangan super sibuk ayah sama bundanya. Dulu
ketika mengandung Anggi, ibunya pernah flu dan meminum obat-obatan warung tanpa
resep dokter. Karena jarak rumah kantor yang lumayan jauh, ibu Anggi seringkali
kecapean. Saat usia 8 bulan di kandungan, ibu Anggi pernah mengalami pendarahan
tanpa sebab. Anggi terlahir normal dengan usia kandungan yang telah matang.
Down sindrome adalah suatu kelainan genetik pada kromosom 21 atau 23 ( maaf
jika salah), jadi tidak ada keterkaitan antara kelahiran seorang anak yang
mengidap down syndrome dengan sebuah kutukan.
Yang perlu kita ketahui adalah, mereka sama
seperti kita. Memiliki hak hidup yang layak selayaknya kita yang menyebutkan
diri sebagai manusia normal. Tak ada bedanya. Mereka yang seperti Anggi tak
ingin di jauhi, mereka hanya ingin berteman dan bersosialisasi. Tidak ingin
dikasihi, mereka hanya butuh pengakuan bahwasanya mereka itu ada sebagai bagian
dari masyarakat.
Sebuah penolakan di dalam keluarga yang
mendapatkan ‘anugrah’ tersebut awalnya pasti ada. Bahkan tidak sedikit yang
berahir pada traffiking dan penelantaran pada panti sosial. Begitu pula dengan
Bunda Anggi—sedikit bercerita, dia merasa sedang di kutuk oleh Sang Maha Pemberi
Hidup yang berahir dengan menghujatNya. Selama 3 tahun, Anggi tidak diperkenalkan
bundanya kepada sapapun bahkan beliau trauma untuk memiliki keturunan kembali.
Parahnya dengan hadirnya Anggi tersebut, justru menjadi perpecahan rumah tangga
beliau. Bunda Anggi kekeuh, kondisi Anggi saat ia terlahir adalah dosa masa
lalu suaminya yang di karmakan kepada anak mereka. Begitu pula dengan ayah
Anggi, beliau menuduh bunda Anggi (maaf) selingkuh sehingga mereka dikarunia
putri down sindrome. Sekali lagi, down syndrome bukanlah kutukan ataupun
keturunan melainkan adanya ketiksempurnaan kromosome didalam membelah diri. Anggi
hanya dirawat oleh baby sitter.
Disinilah diperlukannya peranan wanita cerdas. Karena
gagalnya rumah tangga, beliau tidak ingin berdiam diri saja. Sebab jauh sebelum
Anggi terlahir beliau memimpikan Anggi sebagai anak yang talented. Hingga suatu
waktu bunda Anggi menemukan sebuah komunitas bagi orang tua yang memiliki anak
pengidap down syndrome.
“ dari sini saya sadar bu ii, bahwa anak itu
ujian buat ibunya. Sepandai atau sebodoh apapun anak kita dia tetaplah ujian. Tinggal
bagaimana kita mampu menyelesaikan program ujian tersebut. Bu ii pernah nyontek
kan sewaktu ujian. Disini juga saya ingin menyontek dan berguru lebih dari
ibu-ibu lain yang memiliki anak luar biasa seperti Anggi”
Subhanallah.. wanita itu memang wajib cerdas.
“dari sini saya mulai tahu tentang Anak Luar Biasa
(Anak berkebutuhan khusus). Saya browsing2, ternyata bukan saya saja yang
dianugerahi anak seperti mereka. Betapa hebatnya mereka yang mampu mengantarkan
anak luar biasanya menjadi anak yang talented dengan keluarbiasaannya. Mereka itulah
wanita cerdas sesungguhnya, bu ii”
Dari sejak saat itulah bunda Anggi membesarkan
anggi sendiri tanpa sosok ayah. Beliau selalu yakin dan meyakini bahwa apa yang
dilakukannya tersebut adalah sebuah pengabdian.
“apa yang kita lakukan dan kondisi kita sangat
berpengaruh pada perkembangan psikologis anak bu, itu yang saya baca. Saya masih
belum faham dengan itu. Tapi saya pernah mengalaminya, Anggi selalu lebih peka
terhadap kondisi saya. Dia akan susah diatur jika kondisi saya saat
memerintahkannya dalam suasana kacau”
“saya tidak peduli bahkan saya bangga ketika
Anggi mengamuk atau merusak tanaman bunga milik tetangga saya. Saya akan lebih
legowo untuk menggantinya, berapapun itu. Itu saat-saat dimana Anggi
membutuhkan untuk sebuah pengakuan. Tapi hati saya hancur bu ii, ketika
disekolah Anggi tidak diperhatikan oleh guru-gurunya dan tidak memiliki kawan. Apa
salah anak saya? Sanking saya sayangnya pada Anggi, saya juga ikut bergabung
dengan organisasi yang diampu oleh ibu walikota ( Ibu Dada Rosyada) untuk
mengkampanyekan Anak-Anak Berkebutuhan Khusus bahwa mereka itu sama. Saya hanya
berharap satu, Anggi bisa diterima oleh orang-orang disekitarnya termasuk
keluarga saya”
“sekarang saya bertanya pada ibu ii, kenapa ibu
ii mengambil jurusan PLB saat masuk perguruan tinggi?”
Saya tidak menjawabnya, dan senyum memaksakan
“apapun jawaban ibu ii, pasti alasannya karena
ibu care sama mereka. Mereka yang tidak bisa melihat, mendengar, berbicara,
membaca apapun itu pasti alasan ibu karena care. Jika sebagian remaja saja bisa
ikhlas untuk merelakan masa depannya dengan mengabdi untuk anak-anak luar
biasa, mengapa kebanyakan disana sangat susah untuk menerima anak saya sebagai
kawannya?”
------------------------------------------------------------------------------
Yaa
Kholiq... Ya Kholiq... Yaa Kholiq...
Kenapa ridhomMu
sungguh susah didapatkan? Kenapa hidayah itu sangat jauh dari saya? Kenapa untuk
sekedar bersyukur dan meluruskan niat itu terasa sangat sulit? Sedangkan beribu
kebaikan dan ladang ikhlas telah terbentang sejauh mata memandang
Apa yang
kau sangkakan padaku itu salah Bunda Anggi... semoga saya selalu diberikan
kesempatan untuk kembalikan meluruskan niat dan memperbaiki diri
Terimakasih
my Anggi pernah mengenalmu sejauh saya bisa. Semoga semangat-semangatmu tidak
pernah surut dan menjadi sumber semangat bagi saya yang harus belajar dari
kisah hidupmu agar suatu
saat memang benar-benar pantas untuk menyandang nama ibu guru sebelum nama saya. Semoga kita masih dipertemukan dilain kesempatan.
Catatan kuliah
Hambatan Interaksi Komunikasi, Bandung 2012