Ketika
Semangat Masih Menjadi Sebuah Marga
Dulu
ketika semangat masih menjadi nama belakang ii, rasanya begitu mudah untuk
menjelajah Kota Dawet Ayu dari puncak Plateau hingga pojok Barat distrik sentra
keramik dalam 1 hari.
Tak ada
kata lelah, takut apalagi mengeluh. Kebersamaan bersama sahabat-sahabat
seperjuangan lah yang menawarnya.
Ketika
semangat masih menjadi nama belakang ii, rasanya mudah sekali mengalahkan
ganasnya not-not balok menjadi sebuah gerakan yang begitu indah ketika mata
memandangnya.
Dahulu,
ketika semangat masih menjadi nama belakang ii. Semua cerita tak lengkap jika
tidak diungkapkan dalam sebuah coretan bergambar, sehingga semua orang pun
dapat membacanya.
Atau ketika
dahulu, saat awal menjadi mahasiswi sebuah PTN lantas kata cita-cita padam
begitu saja namun semangat masih menjadi nama belakang ii. Tak ada hujan atau
malam yang dapat menghentikan jejak untuk bisa kembali membangun rumah yang
telah runtuh tersapu jarak,
Berjumpa seseorang yang hobi mempearsing
badannya.
Seseorang yang rela menghentikan
studi masternya di negeri Bunga Tulip untuk membangun rumah petak dari kardus
mie instan di ujung terminal kampong halaman ibunya dan sekedar mengajarkan S for Soreang, or B
for Banjaran.
Seorang ibu aktifis yang tak bisa memadukan baju untuk anak perempuannya yang
hendak ke pesta ulang tahun temannya, (ah Nyonya jujur untuk bagian ini ii tak
ingin seperti dirimu. Ii ingin menjadi kawan terbaik untuk anak ii kelak ketika
dia membutuhkan solusi terbaik untuk masalah fashion, seperti ibu ii saat ini
yang tak pernah membeli pakaian untuk anak-anaknya karena selalu menciptakan
baju terindah dari tangan hangatnya. Dan anaknya ini begitu kurang ajar tak
pernah memakai karya ibunya itu—maaf sedikit curhat)
Kakak yang begitu takut dengan sebuah
Mushaf (Al Quran), karena takut kualat. Mengaku terahir kali Sholat ketika
kelas 6 SD saat ujian agama kelulusan sekolah di Tanah Minang sana, dan begitu
bangganya ketika ii ajak ke kampong halaman ii di Negeri para Dewa karena
memiliki rambut gimbal melebihi lutut layaknya orang asli daerah itu,
2 orang Aa, yang tak pernah lupa
mengajak ii jamaah sholat Magrib di sebuah mushola umum dekat pemancingan yang jalan
menuju kesana terdapat makam tak diketahui asal usulnya. Yang tak pernah
melepas iket kepalanya kecuali saat tidur. Lantas rela menerobos banjir untuk
sekedar mengabsenkan namanya di absen kelas di kampus besar di daerah pinggiran
Kota Tahu, “mening keneh nguriling babanjiran daripada kudu asup ka tol”. Itu
namanya konyol,
Lalu,
seorang dosen muda nan gahol nian di
sebuah Universitas Tekhnik Swasta ternama di Kota Bandung, yang hobinya ngomik
kaya Edo,
Teteh pecinta bunga mawar yang
sangat hobi menaklukan “tiang langit”,
Kakak tingkat yang tingkatannya sangat jauh diatas
ii, sang penyanyi internasional yang mengenalkan ii dengan dunia yang saat
sekarang setiap hari selalu ii urai kunci labirinnya. Dimana labirin itu hanya
remang-remang, sedikit cahaya bahkan gelap sangat gelap sekali untuk ii uraikan
simpul kuncinya. Mengenalkan ii dengan mahasiswi S2 diuniversitas terkeren di
negeri ini yang sangat mencintai karya Abah Asep Sunandar Sunarya (juga) yang
di depannya ii pernah di permalukan gara2 tidak bisa memindahkan pudding dari
Loyang ke piring,
Rasanya
hari2 ii berjalan sempurna ketika bersama kalian dahulu. Tak ada pura-pura. Tak
ada topeng, yang ada hanya segenggam semangat yang siap di nyalakan untuk
menjadi bahan bakar. Cita-cita yang tersapu jarak pun serasa menampakkan
puingnya dengan desain yang lebih nyata. Tak ada lagi kata ragu saat itu,
Masih
sangat terbayang ketika ii harus pergi meninggalkan kalian di tengah hari itu
di bawah derasnya hujan. Ii harus mengadukan hujan dengan airmata agar
terbiaskan. Rasanya sakit. Ii harus kehilangan rumah untuk kedua kalinya,
kalian.
Kembali
harus kehilangan rumahnya. Kali ini yang ii jumpai sebuah realita yang tragis.
Ii harus dihadapkan pada masa masa
sangat gelap yang gelapnya melebihi labirin rumah buta. Karena ii harus
hidup dalam keberpura-puraan demi sebuah mantra mujarab yang disebut dengan
bakti. Rasanya sudah tak lagi mengenal kata ideology. Ideology, sebuah pondasi
rumah yang sejak dini selalu di gadang-gadangkan sekarang begitu saja terbawa
angin tanpa menyisakan sedikit butirannya.
Seperti
halnya kerang yang tersiram pasir, rasanya perih sekali harus hidup ditempeli
butiran-butiran pasir yang perlahan mematikan sel-sel pembangun rumah.
Pagi ini,
seorang teman lama menyapa.
Judul :
dear bu guru cici
selamat pagi Bu guru cici.
Lama tak jumpa, sekarang sudah menjadi bu guru
saja. O iya, apa kabar dengan komunitasmu itu? Salut saya buat kamu yang berani
mengambil jalan hidup untuk mengabdi mendidik titipan Tuhan. Sampaikan salam
untuk Bapak-Ibu guru teman-temanmu itu, btw mereka baik-baik kan ma kamu?
ahahay. Tetap semangat ya!!!
Semoga Tuhan Memberkati harimu
Surat super
singkat dari kawan lama. Rasanya ii ‘malu’ sekali dengan nama ii pas baca nya.
Jadi harus seperti apa ii melanjutkan sisa hidup ii? Melanjutkan
keberpura-puraan ini atau kembali ke masa ketika semangat masih menjadi nama
belakang ii dulu? Disisi lain, ii seperti telah terkunci pada keberpura-puraan
ini. Sedikit telah bisa mengimbangi dan mencintai keberpura-puraan untuk di
panggil sebagai guru. Itu motivasi baru ii untuk bisa mencari kembali pondasi
yang telah lama lapuk. Namun ii juga menyadari kapasitas ii, itu bukan lintasan
ii..
Ayah-Ibu,
seandainya ii harus memilih. Ii akan memilih berbakti kepadamu seumur hidup,
itu janji ii. Tapi ijinkan ii untuk menghentikan keberpura-puraan ini. Ii lelah
untuk berlari mengejar yang tidak ii inginkan. Ii hanya ingin berjalan seperti
dahulu untuk bisa mendapatkan apa yang ii cintai..
Re: dear
bu guru cici
Lena,
ii kaya yang mimpi lena mau nulis surat lagi buat ii. Ii kira lena msih marah
sama ii makanya lena ga pernah bales email ii. Lena, hidup itu pilihan. Masih
ingat kan? Mungkin ini jalan yang Allah kasih ke ii buat terus belajar. Lena,
ternyata menjadi guru itu tak semudah teori di buku. Ii selalu mengeluh ke temen
ii yang lain, ii tak mau menjadi guru. Ii gak bisa. Lena masih ingat dengan
teman ii, syifa? Ii belajar dari dia. Tak ada yang tak mungkin selama kita
belajar. Rasa benci ii ke Bapak, sekarang sudah berubah 100% menjadi rasa
kagum. Bapak ii bisa ngajar anak bau kencur, ABG, ABG Tua bahkan ABG kadaluarsa
hahaa
Teman-teman
ii disini baik2 kok. Kita ber 8. Ada eka, fitri, Juanita, Ahmad, Fahmi, Idhar
sama idho . Tapi maaf salam lena ga akan ii sampaikan :p
Jangan bosen2 ya bales email ii :*
Re : dear
bu guru cici
Kelewat
kangennya lah sama kamu, sangat-sangat rindu. Tapi aku malu untuk membalas
suratmu2 itu. Mau kan kamu maafin aku? Ayat Tuhan tidak pernah berbohong. Tidak
ada seorang Ayah yang menyesatkan anaknya. Semoga ini benar-benar jalan hidup
yang terbaik untukmu, nduk. Disetiap jalan kebaikan itu selalu mengandung batu
sandungan. Jangan jadikan sandungan itu sebagai petaka. Tapi jadikan itu untuk
bisa bangun kembali dan berlari.
Semangat
terus cici, jangan sampai redup seperti halnya bintang. Kau boleh terhalang
mendung tapi jangan sampai terlena oleh indahnya kabut gunung. Jangan sampai kau hilangkan cici yang selalu
benderang, cici yang selalu tertawa :D
Lenaaaaaa,
ii terharu baca suratmu. Makasih masih mau menjadi teman ii. Rasanya nama
semangat kembali ingin menjadi marga ii J