Jumat, 22 Maret 2013

Sajak Delia

Bara Dalam Kemarau
mengapa begitu sulit memadam api ini?
semakin kusiram apinya semakin berkobar,
cahaya semakin terang dan begitu panas
bunga-bunga harapan tumbuh mekar dengan liar tak dapat di cegah dan tak bisa di babat
sedangkan bayangan semu senantiasa mengejek dan menertawai tanpa perasaan, membuat titik gerimis menjadi deraian hujan teramat deras
namun api itu tetap menyala seolah menantang sang hujan yang berusaha memadamkannya
akankah musim semi akan menjelang?
atau kemarau panjang tetap hadir selamanya?
jika boleh melilih, lebih baik aku berada di musim kemarau yang tandus tetapi tak ditertawai  bayangn harapan semu
daripada dipersimpangan musim yang tak pasti ini
letih rasanya berjalan mendaki gunung batu yang terjal dengan jurang dalam di kiri kanan dan disela batu itu terdapat duri nan tajam membuat darah menetes tanpa ada penawarnya,
namun aku harus tetap berjalan meski tertatih-tatih letih, tersungkur jatuh dan terluka demi menggapai gemerlapan bintang yang akan menerangiku dikala malam menjelang
bila bintang tersebut terlalu tinggi  untuk diraih,
biarlah aku menatapnya dari bumi nan sunyi berharap dan berdoa semoga ia sudi untukku raih dalam dekapan

* Delia, siswi kelas VII SLB Negeri A Kota Bandung

Rabu, 20 Maret 2013

j a n j i . . .



Ayah, sebelum kau pulang sore itu ada satu janji yang belum aku tepati
Ayah, meskipun kau tidak merasakannya aku yakin kau melihatnya
Ayah, aku hari ini bukan seperti pintamu dahulu,
Tidak juga seperti mauku
Karena aku tau, aku tak akan pernah bisa menepati janjiku padamu
Aku akan membuat sebuah perjanjian baru denganmu
Akan ku lukiskan senyum Ibu seperti pagi itu
Meskipun bukan seperti yang kau pinta,
akan kutepati janjiku dengan caraku…
ayah, itu janjiku

Jumat, 15 Maret 2013

belajar



Teteh : adeek beajar!!!! Bentar lagi ujian. Jangan nonton tv aja
Aa      : tah the tah, carekan weh si adek. Pagawean nonton tv wae ti isuk-isuk
Adek  : kalem atuh coy, adek nu rek ujianna naha batur nu riweuhna?
Teteh : hoyong teu lulus maneh the!!
Adek  ;ih ka adi sorangan the nya ngadoakenna nu jelek-jelek
Teteh : matakna ngapalkeun. Pareuman tvna
Adek  : selow atuh ceu, ieu oge nuju belajar
Aa      : bohong ceu. Masih keneh nangkring di hareup tv
Adek  : apan ieu nuju belajar. Nonton on the spot teh sami jeung belajar. Jadi menambah wawasan
#ampuuuuuuun

Sabtu, 09 Maret 2013

Ketika Semangat Masih Menjadi sebuah Nama



Ketika Semangat Masih Menjadi Sebuah Marga
Dulu ketika semangat masih menjadi nama belakang ii, rasanya begitu mudah untuk menjelajah Kota Dawet Ayu dari puncak Plateau hingga pojok Barat distrik sentra keramik dalam 1 hari.
Tak ada kata lelah, takut apalagi mengeluh. Kebersamaan bersama sahabat-sahabat seperjuangan lah yang menawarnya.
Ketika semangat masih menjadi nama belakang ii, rasanya mudah sekali mengalahkan ganasnya not-not balok menjadi sebuah gerakan yang begitu indah ketika mata memandangnya.
Dahulu, ketika semangat masih menjadi nama belakang ii. Semua cerita tak lengkap jika tidak diungkapkan dalam sebuah coretan bergambar, sehingga semua orang pun dapat membacanya.
Atau ketika dahulu, saat awal menjadi mahasiswi sebuah PTN lantas kata cita-cita padam begitu saja namun semangat masih menjadi nama belakang ii. Tak ada hujan atau malam yang dapat menghentikan jejak untuk bisa kembali membangun rumah yang telah runtuh tersapu jarak,
Berjumpa seseorang yang hobi mempearsing badannya.
Seseorang yang rela menghentikan studi masternya di negeri Bunga Tulip untuk membangun rumah petak dari kardus mie instan di ujung terminal kampong halaman ibunya  dan sekedar mengajarkan S for Soreang, or B for Banjaran.
Seorang ibu aktifis yang tak bisa memadukan baju untuk anak perempuannya yang hendak ke pesta ulang tahun temannya, (ah Nyonya jujur untuk bagian ini ii tak ingin seperti dirimu. Ii ingin menjadi kawan terbaik untuk anak ii kelak ketika dia membutuhkan solusi terbaik untuk masalah fashion, seperti ibu ii saat ini yang tak pernah membeli pakaian untuk anak-anaknya karena selalu menciptakan baju terindah dari tangan hangatnya. Dan anaknya ini begitu kurang ajar tak pernah memakai karya ibunya itu—maaf sedikit curhat)
Kakak yang begitu takut dengan sebuah Mushaf (Al Quran), karena takut kualat. Mengaku terahir kali Sholat ketika kelas 6 SD saat ujian agama kelulusan sekolah di Tanah Minang sana, dan begitu bangganya ketika ii ajak ke kampong halaman ii di Negeri para Dewa karena memiliki rambut gimbal melebihi lutut layaknya orang asli daerah itu,
2 orang Aa, yang tak pernah lupa mengajak ii jamaah sholat Magrib di sebuah mushola umum dekat pemancingan yang jalan menuju kesana terdapat makam tak diketahui asal usulnya. Yang tak pernah melepas iket kepalanya kecuali saat tidur. Lantas rela menerobos banjir untuk sekedar mengabsenkan namanya di absen kelas di kampus besar di daerah pinggiran Kota Tahu, “mening keneh nguriling babanjiran daripada kudu asup ka tol”. Itu namanya konyol,
Lalu, seorang dosen muda nan gahol nian di sebuah Universitas Tekhnik Swasta ternama di Kota Bandung, yang hobinya ngomik kaya Edo,
Teteh pecinta bunga mawar yang sangat hobi menaklukan “tiang langit”,
Kakak  tingkat yang tingkatannya sangat jauh diatas ii, sang penyanyi internasional yang mengenalkan ii dengan dunia yang saat sekarang setiap hari selalu ii urai kunci labirinnya. Dimana labirin itu hanya remang-remang, sedikit cahaya bahkan gelap sangat gelap sekali untuk ii uraikan simpul kuncinya. Mengenalkan ii dengan mahasiswi S2 diuniversitas terkeren di negeri ini yang sangat mencintai karya Abah Asep Sunandar Sunarya (juga) yang di depannya ii pernah di permalukan gara2 tidak bisa memindahkan pudding dari Loyang ke piring,
Rasanya hari2 ii berjalan sempurna ketika bersama kalian dahulu. Tak ada pura-pura. Tak ada topeng, yang ada hanya segenggam semangat yang siap di nyalakan untuk menjadi bahan bakar. Cita-cita yang tersapu jarak pun serasa menampakkan puingnya dengan desain yang lebih nyata. Tak ada lagi kata ragu saat itu,
Masih sangat terbayang ketika ii harus pergi meninggalkan kalian di tengah hari itu di bawah derasnya hujan. Ii harus mengadukan hujan dengan airmata agar terbiaskan. Rasanya sakit. Ii harus kehilangan rumah untuk kedua kalinya, kalian.
Kembali harus kehilangan rumahnya. Kali ini yang ii jumpai sebuah realita yang tragis. Ii harus dihadapkan pada masa masa  sangat gelap yang gelapnya melebihi labirin rumah buta. Karena ii harus hidup dalam keberpura-puraan demi sebuah mantra mujarab yang disebut dengan bakti. Rasanya sudah tak lagi mengenal kata ideology. Ideology, sebuah pondasi rumah yang sejak dini selalu di gadang-gadangkan sekarang begitu saja terbawa angin tanpa menyisakan sedikit butirannya.
Seperti halnya kerang yang tersiram pasir, rasanya perih sekali harus hidup ditempeli butiran-butiran pasir yang perlahan mematikan sel-sel pembangun rumah.
Pagi ini, seorang teman lama menyapa.
Judul : dear bu guru cici
selamat pagi Bu guru cici.
Lama tak jumpa, sekarang sudah menjadi bu guru saja. O iya, apa kabar dengan komunitasmu itu? Salut saya buat kamu yang berani mengambil jalan hidup untuk mengabdi mendidik titipan Tuhan. Sampaikan salam untuk Bapak-Ibu guru teman-temanmu itu, btw mereka baik-baik kan ma kamu? ahahay. Tetap semangat ya!!!
Semoga Tuhan Memberkati harimu
Surat super singkat dari kawan lama. Rasanya ii ‘malu’ sekali dengan nama ii pas baca nya. Jadi harus seperti apa ii melanjutkan sisa hidup ii? Melanjutkan keberpura-puraan ini atau kembali ke masa ketika semangat masih menjadi nama belakang ii dulu? Disisi lain, ii seperti telah terkunci pada keberpura-puraan ini. Sedikit telah bisa mengimbangi dan mencintai keberpura-puraan untuk di panggil sebagai guru. Itu motivasi baru ii untuk bisa mencari kembali pondasi yang telah lama lapuk. Namun ii juga menyadari kapasitas ii, itu bukan lintasan ii..
Ayah-Ibu, seandainya ii harus memilih. Ii akan memilih berbakti kepadamu seumur hidup, itu janji ii. Tapi ijinkan ii untuk menghentikan keberpura-puraan ini. Ii lelah untuk berlari mengejar yang tidak ii inginkan. Ii hanya ingin berjalan seperti dahulu untuk bisa mendapatkan apa yang ii cintai..
Re: dear bu guru cici
Lena, ii kaya yang mimpi lena mau nulis surat lagi buat ii. Ii kira lena msih marah sama ii makanya lena ga pernah bales email ii. Lena, hidup itu pilihan. Masih ingat kan? Mungkin ini jalan yang Allah kasih ke ii buat terus belajar. Lena, ternyata menjadi guru itu tak semudah teori di buku. Ii selalu mengeluh ke temen ii yang lain, ii tak mau menjadi guru. Ii gak bisa. Lena masih ingat dengan teman ii, syifa? Ii belajar dari dia. Tak ada yang tak mungkin selama kita belajar. Rasa benci ii ke Bapak, sekarang sudah berubah 100% menjadi rasa kagum. Bapak ii bisa ngajar anak bau kencur, ABG, ABG Tua bahkan ABG kadaluarsa hahaa
Teman-teman ii disini baik2 kok. Kita ber 8. Ada eka, fitri, Juanita, Ahmad, Fahmi, Idhar sama idho . Tapi maaf salam lena ga akan ii sampaikan :p
Jangan bosen2 ya bales email ii :*                                                                                                                         
Re : dear bu guru cici
Kelewat kangennya lah sama kamu, sangat-sangat rindu. Tapi aku malu untuk membalas suratmu2 itu. Mau kan kamu maafin aku? Ayat Tuhan tidak pernah berbohong. Tidak ada seorang Ayah yang menyesatkan anaknya. Semoga ini benar-benar jalan hidup yang terbaik untukmu, nduk. Disetiap jalan kebaikan itu selalu mengandung batu sandungan. Jangan jadikan sandungan itu sebagai petaka. Tapi jadikan itu untuk bisa bangun kembali dan berlari.
Semangat terus cici, jangan sampai redup seperti halnya bintang. Kau boleh terhalang mendung tapi jangan sampai terlena oleh indahnya kabut gunung.  Jangan sampai kau hilangkan cici yang selalu benderang, cici yang selalu tertawa :D                                                                                       
Lenaaaaaa, ii terharu baca suratmu. Makasih masih mau menjadi teman ii. Rasanya nama semangat kembali ingin menjadi marga ii J


K I T A ,



Kita, dari ‘rumah’ yang berbeda hari ini bersama

Aku,

Dapat ayah baru, 

Ibu baru,

Kakak baru,

Aku,

Menjadi adik,

Kau, keluarga baruku

Bersama saat makan,

Berdua saat sujud,

Bertiga ketika belajar,

Tak ada hari untuk tidak bersama

Kau keluarga baruku,

Akankah aku menjadi keluarga barumu, teman?