Minggu, 29 Desember 2013

sebuah tahun sampah

haii,
Okey beibh ini penghujung 2013. Sebenarnya sangat tidak layak harus menceritakan dan menuliskan cerita tentang perjalana tahun, tapi anggap saja ini sebagai refleksi dan alarm untuk memperbaiki diri lantas berlari.

Diawal tahun 2013, saya mulai menggadaikan waktu pada sebuah program PLP (Program Latihan Profesi). Secara tertulis program ini selama 6 bula atau satu semester, tapi pada prakteknya dapat kurang dari itu. Saya membayagkan masa PLP adalah masa dimana saya bisa memiliki waktu lepas dzuhur yang banyak karena sudah tidak terikat oleh kuliah dan dapat memperbaiki IMM saya. Tapi justru yang saya dapatkan adalah sebaliknya. Selama 6 full waktu saya tergadai di Pajajaran sampai datang panggilan Isya.

Yaa Rabb, saya hanya manusia biasa yang jujur sangat tidak tertarik samasekali dengan dunia mengajar saat itu dan setiap hari harus menggadaikan diri disekolah. Beberapa minggu disana saya sanget merasakan sebuah perbedaan, kita saling kompetitif untuk menjadi yang lebih baik menampilkan lebih baik dan memeberikan lebih baik pula. 3 bulan disana, hampir semua kewajiban mengajar dikelas selesai, saya baru menemukan sebuah ritme. Bahwa mengajar adalah sebuah pengabdian luar biasa, bukan seperti mulut yang berbicara melainkan otak yang berkehendak dan hati yang bertitah. Sebuah ketulusan adalah modal utama didalamnya. BODOH sangat bodoh ketika saya mengira bahwa diri saya sedang tergadai. Justru saya mendapatkan segalanya disini, seperti pulang kuliah dalam kondisi kehujanan maka akan lebih baik jika mandi sekalian. Yap mungkin itu perumpamaannya. Saya aka menjadi guru, camkan itu. Tapi bukan guru sebagai mereka, saya akan pada pendirian saya dan mulai saat ini akan lebih untuk belajar. Sebab menjadi seorang guru bukan persoalan tentang memiliki banyak harta dan membangun sebuah dinasti seperti kebanyakan, melainkan menjadi sosok sahabat yang multifungsi. Jujur, saya mulai merindukan kembali saat-saat membuat soal test dan melihat anak didik saya bisa mengerjakannya dan memahaminya. Menjadi guru bukanlah persoalan mengajarkan anak didiknya bisa mengerjakan soal yang kita berikan namun bagaimana kita dapat menjadi simbiosis mutualisme didalamnya dimana ada factor keterkaitan untuk saling membantu dan memahami hal baru dalam hidup. Ya, saya akan menjadi guru.
Sisa 6 bulan berikutnya sungguh menjadi bulan-bulan yang membosankan, dimana hari-hari saya hanya berlalu begitu saja tanpa sebuah makna dan cerita. 6 bulan berikutnya adalah sebuah ruang gelap diamana saya harus berusaha bernafas didalamnya. 6 bulan beikutnya adalah tentang sebuah lorong panjang yang harus saya temukan ujungnya. 6 bulan berikutnya adalah dimana saya harus move on dan patah hati sekaligus dalam saat yang bersamaan.

2013, tahun sampah yang sangat pendek. Tak satupun kemajuan yang didapat dari target emas yang telah dituliskan di tahun sebelumnya.
Mungkin ditahun depan, semua orang tidak akan mengenali saya. Saya bukan malaikat atau peri lagi dalam sebuah cerita (yang pada tahun sebelumnya juga bukan peri atau malaikat), semoga bukan pula menjadi iblis atau syetan yang selalu berjalan pada sisi lain manusia.

Tapi, SRI AGUS SUPRIANI pada tahun 2014 adalah metamorfosa gadis kecil menjadi gadis dewasa yang akan konsisten pada jalan lurus. Bukan pada jalan kanan ataupun jalur kiri. Sri Agus Supriani pada tahun 2014 adalah gadis cikal bergelar S.Pd.
Tidak ada yang istimewa dari 2013,

Bandung, 29 Desember 2013

#angkadua

Lego di tanah Priangan

2 SMP,
Anggap saja ini hanya sebagai penyemangat belajar. Pengantar untuk lebih baik. Sebagai awal untuk untuk ahir yang panjang.

2 Aliyah…
Sudah bukan sebuah kebetulan lagi. Bahwasanya ini adalah titik dimana saya berada pada garis equilibrium remaja. Sudah bukan sebagai penyemangat belajar, melainkan pertaruhan antara prinsip, kesetiaan, dan permainan busuk untuk bisa menyembunyikan sesuatu yang konon indah rupanya dan semerbak wanginya. Sebuah ketaatan atau jati diri atau apapun itu adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Membawa kita kepada sebuah jarak yang benar-benar jauh, hingga bahasa lisan sepertinya sudah tidak dapat dikenal lagi. Saya masih disini, masih dengan namamu dimanapun itu.
Yang pada suatu siang, saya harus tau bahwa ikhlas adalah segalanya. Tidak ada yang salah, bukan jarak yang tak tertempuh atau bahasa yang sudah tidak lagi dapat terucap. Kita sudah terlalu jauh, hingga ahirnya sangat jauh.
Pertengahan semester 2 lalu, saya menemukan seonggok dzat sepertimu. Atau kau sedang bereinkarnasi? Saya berhalusinasi tajam, atau saya rasa tidak juga.
Kau ada padanya, wujudmu berbeda namun atmosfer yang dia ciptakan seperti ketika kita sedang membahas sebuah strategi pada pagi buta dulu atau saat senja datang. Yakin, jika dia adalah reinkarnasi atas dirimu dan dikirim ke dekatku.
Semester 8 berahir
Dia yang telah lama tersimpan dalam folder tua rak buku, setiap hari satu persatu datang sebagai film tua. Seperti sedang menterjemahkan sebuah prosa klasik Jepang yang membutuhkan ketekunan untuk mengurai aksaranya dan menggandeng kamus untuk menterjemahkan bahasanya.
Yang lama telah kembali. Saat ini lah, masa dimana sebuah prinsip sangat dipertaruhkan.
Maaf saya sedikit goyah, dengan menghancurkan sendiri lego yang telah saya susun selama ini.

22 Agustus 2013
Dia menanam, maka dia yang akan memetik buahnya. Inilah hasil tanamku, sebuah kepiasan, kegamangan yang hingga kini masih menjadi misteri. Tak ada yang mengetahui warnanya, tak seorangpun dapat menyebut namanya, merusak sebungkus ketulusan wanita tua kepada gadis kecilnya. Saya menyesal.

Saya masih menutup gerbang ini sebelum lego kembali tersusun. Mungkin Majapahit akan mudah menghadang pasukan Pajajaran di lembah Larangan, tapi laut utara adalah seburuk tempat dimana Patih Gajah Mada sendiri tidak dapat bersembunyi dirumahnya.