Senin, 23 Mei 2011

Bahagia dan Bahagia..

Ya Allah,
terimakasih,
hari ini ii bahagiaaaaaaa....

Aku Rindu Kamu,


Tuhan,
Ampuni aku yang durhaka
Nenek,
Maafkan cucumu ini yang terlalu banyak berbuat salah padamu
Yang tak dapat membalas kasih sayang tulus yang ku dapat selama ini,
Sekarang sangat terasa hidupku begitu sepi tanpa hadirmu
Tanpa petuah bijakmu
Hati dan jiwa ini sekarang benar-benar kering
Sekarang tak ada senyum dan tawa manisku lagi,
Sudah ttersimpan rapat dalam memory hidupku yang tak dapat terbuka lagi
Sekarang, sudah tak  adalagi suara serakmu yang membangunkanku dikala fajar
Tak ada yang peduli pada kamarku dan sukarela membereskan semua buku-buku yang berserakan
Tak ada yang mengingatkan, ini waktunya makan,
Sudah larut malam, cepet tidur
Jangan lupa bawa payung sekarang musim hujan,
Tak ada suara gaduh mengingatkan sudah maghrib dan bergegas ke mushola
Sudah tak ada lagi yang menungguku di depan pintu jika maghrib tiba aku belum juga sampai dirumah dengan selamat
Tak ada juga yang selalu mendoakan dan memberi sarapan semangat di pagi hari
Tak ada lagi yang merawat dan menangis jika aku terkapar sakit
Dan sekarang
Ketika kau terbaring lemah dibalik kamar gelapmu
Aku tak bisa menemanimu
Kau sendirian berjuang melawan sakit dalam senja usiamu
Aku tak bisa membersihkan badanmu seperti kau membersihkan badanku dahulu ketika aku sakit
Aku tak bisa menemanimu berobat pada dokter terbaik seperti yang kau lakukan dulu
Aku hanya dapat menangis
Betapa durhakanya aku
Aku hanya dapat berdoa
Semoga kau kuat disana
Hingga kelak kau dapat melihatku menjadi sarjana
Allah,
Aku titip sebungkus rindu untuknya
Sampaikanlah,
Dan jadikan sebagai teman dalam sendiri di setiap malamnya
 Bingkai doa ku ini agar dapat ia pajang dan menjadi penghibur dikala ia rindu padaku
_Bandung 24 Juli 2010

Aku Hanya Ingin Berbagi,

Kawan,
Hidup ini adalah sebuah pilihan
Akan kita pilih kiri ataukah kanan, itu bukan suatu masalah
Ketika aku sekarang memilih ‘merah’, bukan berarti aku benci pada ‘hitam’
Sangatlah susah bagiku untuk mengatakan “sekarang aku memilih untuk bersamanya” , sakit untuk kita tapi aku juga sayang padanya
Kawan,
Aku hanya sekedar ingin berbagi,
Membagi waktuku padamu, dan membagi adil pula padanya
Tidaklah munafik ketika aku bersamanya sejenak aku lupa padamu, tapi itu hanyalah soal waktu
Tak mudah bagiku untuk memilih salah satu
Kawan,
Aku hanya ingin berbagi,
Mencoba meneguk ilmu darimu serta darinya
Pengorbananku mungkin belum dapat kau perhitungkan, tapi yakinlah setiaku dapat ku pertanggung jawabkan
Kawan,
Izinkan aku bersamanya


Ragil Galih Briliani-Sri Agus Supriani (1994-2009)

Bagiku sangat susah ketika aku harus dihadapkan pada keadaan dimana aku harus menggambarkan sosok seorang sahabat. Susah memilih kata yang tepat, susah juga mengungkapkan isi hati, karena memang sahabat bukan untuk digambarkan kehadirannya namun untuk dirasakan kehadirannya. Menukil kata-kata orang yang fanatic terhadap sahabat, “ sahabat itu orang dimana kita dapat berbagi dengannya, berbagi suka dan duka. Tempat kita sharing, tempat kita ngeluh, tempat kita ngutang duit, dan bla.bla..blaaa..”
Tapi tidak denganku, kenapa aku susah untuk menggambarkan sesosok sahabat? Jawabannya karena aku tidak memiliki sahabat, <untuk saat ini>.
(Galih-ii, 1994-2006)Dulu sekali ketika masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, pernah saya memiliki sahabat. Yang bagi saya ketika mengenang saat itu sungguh indah sekali dan terlalu sakit untuk dilupakan, dari sahabat itulah saya yang saat itu tinggal dirantau jauh dengan orang tua karenanya jadi memiliki orangtua angkat. Kemanapun kita selalu bersama, disekolah duduk selalu 1 meja, dari sepatu hingga ikat rambut juga sama. Tak ada yang berbeda dari kita, seakan kita kakak beradik yang terlahir satu ibu. Sepulang sekolah kita tak pernah pulang kerumah masing-masing, yang ada rumahku adalah rumahnya, dan rumahnya adalah rumahku, kita menghabiskan hari bersama hingga senja  datang dan kebersamaan kita berahir setelah mengaji bersama dimasjid ketika malam mulai datang. Bagitu aktifitas harian kita berdua tak luput satu haripun, ada saja yang dilakukan untuk mewarnai hari kita bersama. Dari main boneka hingga main tanah liat disamping rumahnya.
Ketika masuk sekolah dasar kebiasaan-kebiasaan tadi mulai sedikit berkurang, karena kita berbeda sekolah, namun rasa memiliki dan kebersamaan yang telah ada masih begitu kuat. Kita masih saling mengunjungi ketika sore hari sepulang sekolah dan siap untuk menjadi pendengar setia semua kejadian disekolah masing-masing, hingga menjelang ujian nasional SD intensitas kita bertemu mulai jarang karena disibukkan oleh les disekolah masing-masing.
Dan  kita dipersatukan lagi ketika duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, topic pembicaraan kita dari pagi hingga senja sudah mulai berubah. Ketika dulu kita sangat hobi bermain boneka panda sekarang ketika kita ngumpul yang dibicarakan adalah guru matematik yang killer, guru fisika yang tukang palak dan kakak-kakak tingkat yang banyak menyukainya.  Kita juga tak kalah dengan anak-anak lain, berbagai ekstrakurikuler kami ikuti. Dari sinilah intensitas kita untuk meluangkan waktu satu sama lain mulai berkurang karena waktu kita yang sedikit tersita oleh ekstrakurikuler masing-masing. Menyadari kebersamaan kita mulai rentang, kita meluangkan sedikit waktu untuk tetap bermain bersama. Dapat dikatakan kita tak terlalu lama saling berjauhan, tapi telah banyak perbedaan diantara kita. Dalam diri kita mulai terpatri gaya hidup dan prinsip berbeda yang masing-masing diantara kami kurang sreg jika disatukan lagi. Sejak mulai kelas 2 SMP, kita benar-benar menjalani prinsip hidup kami masing-masing. Kita hanya sekedar ber say hai lewat pembatas kelas kita atau berbagi cerita di kantin yang hanya 10 menit saja. Aku terlalu jauh mengetahui informasi tentang dirinya begitu pula sebaliknya.
Kita benar-benar kehilangan kontak ketika kita di SMA, untuk mengetahiu kabar masing-masing kita hanya saling bertitip salam ataupun ber say hai ketika pagi-pagi berangkat sekolah.
Sekarang dia kuliah di Tekhnik Sipil di Purwokerto, dan saya di Pendidikan Luar Biasa di Bandung. Dulu ketika saya pulang ke Bandung dan meninggalkan kota kenangan kami, belum sempat saya berpamitan dengannya ataupun keluarganya. Foto-foto masa kecil ketika bersama dulu juga tak terbawa. Sekarangpun komunikasi dengannya hanya lewat komen-komen dan pesan di facebook.
Jadi teringat dulu sekali kau pernah bercerita padaku ingin bertandang kerumahku, dan sekarang pintu rumahku sealu terbuka lebar untuk kedatanganmu, sahabat masa kecilku….
Semoga kau tak melupakan begitu saja persahabatan yang kita bina di Kotamu yang hampir separuh usiaku ini. ( Ragil Galih Briliani^Sri Agus Supriani, 1994-2009)

Kamis, 12 Mei 2011

Amish


Orang Amish, (diucapkan [ɑmɪʃ]) adalah sebuah denominasi Kristen Anabaptis yang hidup di wilayah Amerika Serikat dan Ontario, Kanada, yang terkenal karena pembatasannya terhadap penggunaan peralatan modern, seperti mobil dan telepon.
Orang Amish memisahkan diri dari masyarakat umumnya karena alasan-alasan keagamaan. Mereka menolak masuk militer, tidak (dipaksa) menggunakan jasa jaminan sosial Amerika Serikat, menerima bantuan keuangan dalam bentuk apapun dari pemerintah, dan menghindari asuransi.
Kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa Jerman berdialek lokal yang dikenal sebagai bahasa Jerman-Pennsylvania yang oleh orang-orang Amish disebut Deitsch. Orang Amish terbagi menjadi beberapa persekutuan yang terpisah. Persekutuan tersebut terbagi lagi menjadi distrik atau jemaat. Masing-masing distrik mampu hidup mandiri dan mempunyai ordnung (peraturan tidak tertulis) masing-masing. Persekutuan Amish ordo lama yang konservatif memberlakukan peraturan-peraturan mengenai tata berpakaian, perilaku, dan penggunaan teknologi. Banyak orang Amish yang tidak mendapatkan asuransi atau perlindungan pemerintah seperti jaminan sosial karena mereka tidak membayar pajak pada pemerintah. Akan tetapi, ada juga kelompok Amish ordo baru dan Beachy Amish yang mau menggunakan listrik dan mobil, tetapi masih menganggap diri mereka sebagai bagian dari Amish.
Orang Amish adalah orang yang antiperang (pasifis). Sebagai bagian dari Anabaptis, orang Amish tidak mau ikut dalam pelatihan militer dan lain sebagainya. Orang Amish yang tidak mengikuti ketentuan dari komunitasnya dan tidak bertobat, akan diekskomunikasikan hingga mereka merasa malu.
Populasi
Jumlah populasi orang Amish susah untuk diperkirakan karena kurangnya data-data yang ada. Akan tetapi, berdasarkan berbagai studi, perhitungan kasar jumlah orang Amish adalah sekitar 125.000 pada tahun 2000, dan 221.000 pada tahun 2008. Jadi pertambahan penduduk Amish adalah sekitar 4% per tahun. dati tahun 1992 hingga 2008, pertumbuhan penduduk di antara orang Amish di Amerika Utara adalah sekitar 84%. Pada masa itu, mereka mendirikan 184 perkampungan dan pindah ke 6 negara bagian yang baru. Pada tahun 2000, kurang lebih 165.620 orang tua Amish bertempat tinggal di USA. Setiap keluarga orang Amish rata-rata melahirkan 6 hingga 8 orang anak.
Ada komunitas kuno Amish di 27 negara bagian Amerika Serikat dan di daerah Kanada (Ontario). Komunitas Amish terbesar ada di Ohio, dengan 55.000 orang Amish. Lalu diikuti di Pensilvania (51.000) dan Indianan (38.000). Perkampungan Amish terbesar ada di Lancaster (pusat Ohio). Karena pertambahan penduduk Amish yang cepat, mereka mendirikan perkampungan lagi untuk mempertahankan tanah pertanian mereka. Alasan pembuatan kampung yang baru itu adalah (1) untuk mendukung gaya hidup mereka, (2) mempertahankan kedekatan dengan komunitas Amish yang lain, dan (3) kadang untuk menyelesaikan konflik kepemimpinan orang Amish.
Etnisitas
Orang Amish adalah keturunan dari orang Swiss-Jerman. Akan tetapi, mereka menggunakan terminologi "Amish" hanya kepada komunitas yang memiliki iman yang sama dengan mereka. Jadi terminologi "Amish" tidak menunjuk kepada sekelompok etnis tertentu. Anak yang dibesarkan di rumah orang Amish dianggap sebagai orang Amish, walaupun mereka belum dibaptis.Beberapa gereja Menonit tertentu memiliki sejumlah orang yang berasal dari jemaat Amish. walaupun banyak orang Amish yang bermigrasi ke Amerika pada abad 19, orang Amish saat ini di Amerika kebanyakan adalah keturunan imigran di abad 18. Orang amish yang datang belakangan cenderung lebih menekankan tradisi dan mencoba untuk memisahkan identitasnya.

MENGENAL SUKU TOGUTIL


Bila mendengar kata “TOGUTIL”, maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera. Tapi mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dsb, nama suku Togutil mungkin baru kali ini didengarnya. Bagi orang Ternate, kata “Togutil” sebagai sebuah istilah, itu identik dengan makna kata “primitif”, “keterbelakangan”, “kebodohan” “ketertinggalan” serta masih banyak lagi konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya.
Dalam keseharian kehidupan masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada saudara-saudaranya yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.
Suku Togutil adalah suku asli yang terasing di negerinya sendiri. Hal seperti ini juga pernah dikemukakan oleh Pengamat Budaya Djoko Su’ud Sukahar dalam tulisannya; Suku Asing & Terasing, detikNews, tanggal 21 Agustus 2008 yang menyentil bahwa; “Enampuluh tiga tahun sudah kita merdeka. Kemerdekaan yang panjang itu masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak kunjung membaik, tapi juga masih banyaknya saudara kita yang hidup terasing. Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang Suku Togutil yang hidup di pedalaman pulau Halmahera”. Walaupun mereka masih primitif karena pola hidup secara nomaden tanpa merobah dan merusak alam, namun keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan; janganlah sekali-kali merusak alam.
Seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel-artikel pada posting sebelumnya bahwa pada zaman Pleistochen pulau Halmahera masih menyatu dengan pulau-pulau kecil lainnya yang ada saat ini, seperti pulau; Morotai, Hiri, Ternate, Maitara, Tidore, Mare, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Gebe dan sebagainya. Perubahan alam yang terjadi selama ratusan ribu tahun dan pergeseran kulit bumi secara evolusi telah membentuk pulau-pulau kecil. Halmahera adalah merupakan pulau induk di kawasan ini, dan merupakan dataran tertua, selain pulau Seram di Maluku Tengah.
Secara logis, karena pulau Halmahera adalah pulau induk dan daratan tertua, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan kehidupan dan persebaran “manusia Maluku Utara” juga tentu bermula dari daratan ini. Namun bukan itu yang menjadi bahasan saya dalam tulisan ini. Pembahasan hanya terfokus pada keberadaan sebuah komunitas yakni orang-orang suku Togutil yang masih tersisa yang mengalami ketertinggalan dalam perkembangan sosio-kultural yang disebabkan karena mereka terisolasi atau mengisolasikan diri dari pergaulan dengan lingkungan manusia lainnya. Hidup mereka telah menyatu dengan alam sehingga hutan rimba, sungai-sungai dan goa-goa di belantara pedalaman pulau Halmahera menjadi rumah mereka.
Disadari atau tidak, sebagian orang bisa menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa manusia Maluku Utara yang sudah modern dan maju seperti sekarang ini dahulunya adalah juga seperti “orang Togutil” ini.
Bila kita bijak, maka hal ini tidak lantas begitu saja langsung dibantah, karena jika kita mempelajari “Ilmu Anthropologi” maka pasti kita memahami bahwa setiap bangsa atau suku mana saja di muka bumi ini dalam perjalanannya pasti mengalami tahap-tahap perkembangan yang demikian. Misalnya bangsa Kaukasoid (orang Eropa) yang lebih dahulu maju dan telah menjadi manusia modern seperti sekarang ini, dahulunya juga adalah suku primitif (Vicking) yang kehidupannya masih tergantung dengan pemberian alam (Nomad) seperti orang Tugutil ini.
Kembali kepada pembicaraan kita tentang “Suku Togutil”… Catatan ilmiah tentang suku ini, pertama kali dikemukakan tahun 1929 yang berbentuk sebuah artikel pendek yang terdapat dalam buku; “De Ternate Archipel” Serie Q, No.43 Ontleedn aan de memorie van overgave van den toenmaligen Controleur van Tobelo, PJM Baden, van 26 Maret 1929, pag 401-404.
Saat ini banyak keterangan-keterangan dari berbagai pihak dan masyarakat tentang orang-orang suku Togutil ini sangat berbeda dan simpang siur antara satu dengan yang lainnya. Semua itu benar, karena mereka tahu dan melihat dalam kurun waktu dan ruang yang berbeda sehingga deskripsi yang lahir tentang suku Togutil ini pun berbeda pula.
Di pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.
Namun demikian, bagi masyarakat Maluku Utara, masing-masing kelompok orang-orang Tugutil ini, semuanya disebut sebagai “Suku Togutil” saja. Yang membedakan sebutan terhadap mereka adalah kawasan yang menjadi tempat pengembaraan mereka, misalnya Togutil Tobelo, Togutil Kao, Togutil Dodaga, Togutil Wasilei, Togutil Maba, dsb.
Usaha pemukiman terhadap masyarakat terasing merupakan program utama pemerintah dalam usaha membiasakan mereka hidup menetap dan bercocok tanam (bertani). Menetap dengan pengharapan dapat meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohani. Usaha ini dimaksudkan agar mereka dapat secepatnya mencapai taraf hidup yang sejajar dengan masyarakat Indonesia umumnya.
Atas pemikiran inilah, Pemerintah daerah di Maluku Utara pada tahun 1971 pernah membangun pemukiman (relokasi) untuk orang-orang suku Togutil Dodaga di kecamatan Wasilei Halmahera Tengah. Yang dimaksud dengan orang-orang Togutil Dodaga adalah sekelompok orang suku Togutil yang berdiam di sekitar hutan dekat Dodaga. Penambahan kata Dodaga di belakang nama golongan etnis ini adalah agar dengan mudah dapat membedakannya dengan orang-orang suku Togutil lain yang terdapat di kecamatan Wasilei, maupun di kecamatan-kecamatan lain di pedalaman pulau Halmahera.
Beberapa saat setelah suku Togutil Dodaga ini bermukim di tempat relokasi yang dibangun pemerintah, mereka kembali lagi ke hutan dan hidup lagi menurut cara yang lama. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan, apa sebab usaha ini gagal, sedangkan usaha-usaha serupa berhasil di tempat lain, seperti suku Naulu di pulau Seram, orang Dayak Bukit di Kalimantan, suku Sakai di Sumatera dsb.
Masyarakat di Desa-Desa sekitar mengatakan bahwa orang-orang Togutil ketika musim hujan tiba, merasa terganggu dengan suara bising air hujan yang jatuh, karena atap tidak terbuat dari dedaunan sehingga mereka ketakutan dan lari kembali lagi ke hutan. Alasan lain mungkin karena mereka tidak terbiasa dengan ”sandang” dan “pangan” ala kita.
MASALAH RELOKASI SUKU TOGUTIL DI WASILEI
Gambaran rinci tentang pemukiman, asal-usul dan kehidupan suku Togutil di pedalaman pulau Halmahera ini sama sekali belum diketahui oleh dunia pengetahuan kita. Oleh karena itu sangatlah sukar untuk memperoleh keterangan yang terperinci dan terpercaya dari laporan-laporan yang ada tentang Halmahera tanpa melakukan sendiri penelitian di lapangan.
Walaupun demikian, pada sekitar tahun 1979, Universitas Pattimura Ambon pernah melakukan penelitian lapangan yang bersifat Eksplorasi melalui pendekatan Anthropologi Sosial terhadap suku Togutil di pedalaman Tobelo untuk mencari jawaban atas kegagalan usaha pemukiman suku terasing ini, yang laporan penelitiannya ditulis oleh Mus J. Huliselan yakni; Masalah Pemukiman Kembali Suku Bangsa Togutil di Kecamatan Wasilei Halmahera Tengah Sebuah Laporan Pejajagan, Universitas Patimura, Ambon, 1980.
Saya mengutip beberapa point hasil penelitian tersebut, yang menyebutkan bahwa; Menurut hasil penelitian ini, jika dilihat dari sistem pemukiman orang-orang Togutil Wasilei dapat dibagi atas 3 kelompok, yaitu :

1. Mereka yang mengembara di hutan-hutan dengan goa-goa dengan rumah-rumah darurat sebagai tempat bernaung.

2. Mereka yang berpindah-pindah dalam lokasi tertentu dengan sistem perumahan yang sudah teratur (di Toboino dan Tutuling).

3. Mereka yang menetap pada suatu lokasi dengan pola pemukiman yang telah teratur (di Paraino).
Penelitian ini dilakukan terhadap kelompok kedua dan ketiga. Kelompok pertama adalah pengembara yang dinamai oleh kelompok kedua dan ketiga serta penduduk kecamatan Wasilei sebagai “Orang Biri-Biri”. Mereka ini sukar ditemui dan kecurigaan mereka terhadap orang luar sangat besar.
Orang Biri-Biri hidup selalu bermusuhan dengan orang-orang Togutil Dodaga (kelompok kedua dan ketiga). Setiap pertemuan antar kedua golongan ini pasti diselesaikan dengan perkelahian. Kelompok kedua dan ketiga menganggap masing-masing seketurunan atau segolongan, sedangkan kedua golongan ini sama sekali tidak mengakui orang Biri-Biri sebagai orang yang segolongan dengan mereka.
Orang Togutil Dodaga sebagai salah satu sub-suku Tobelo Dalam, bermukim pada 3 lokasi yang dipilih oleh mereka sendiri di dekat Dodaga, sekitar 30 km dari ibukota Kecamatan Wasilei (Lolobata). Sebagian dari mereka adalah orang suku Togutil yang pernah dimukimkan pada tahun 1971. Ketiga lokasi tersebut adalah; Paraino, Toboino dan Tutuling seperti yang sebutkan dalam hasil penelitian di atas. Orang Togutil Dodaga berasal dari dua tempat, yaitu :

1. Daerah Kao , yakni dari Biang, Gamlaha & Kao sendiri.
2. Daerah Tobelo, yakni dari Kupa-kupa, Ufa & Efi-efi.
Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Maba.
Orang-orang Togutil Dodaga telah menutup dirinya untuk berhubungan dengan dunia luar sampai kira-kira tahun 1961, setelah itu baru terdapat kontak antar mereka dengan penduduk lain di sekitar Halmahera bagian tengah. Sifat ketertutupan ini dapat dimengerti karena mereka adalah pelarian.
Perpindahan nenek moyang suku Togutil Dodaga dari daerah asalnya adalah karena menghindari kewajiban pembayaran Balahitongi (Pajak) yang dikenakan oleh Pemerintah Hindia Belanda jaman dahulu kepada nenek moyang mereka. Kapan dan bagaimana prosesnya berlangsung tidak diketahui secara pasti.
Dalam buku “De Ternate Archipel” (1929, hal 401-402) secara jelas dikemukakan bahwa; Pada tahun 1927 untuk pertama kalinya orang-orang Togutil dikenakan Balasting (pajak) sebesar 1,20 Gulden oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan sejak tahun 1929 setiap tahun ditambah dengan 0,20 Gulden. Apabila kedua keterangan ini dibandingkan, maka dapat dikemukakan dua argument, yakni :

1. Apabila benar bahwa yang melakukan migrasi ke hurtan rimba Dodaga adalah orang-orang Togutil, maka mereka baru melakukan hal itu sesudah tahun 1927 karena adanya pungutan Balasting.
2. Tapi apabila yang melakukan migrasi itu adalah orang-orang Tobelo yang melarikan diri karena Balasting, maka migrasi itu telah dilakukan jauh sebelum tahun 1927.
Dengan demikian sulit dibedakan apakah orang Togutil Dodaga adalah orang-orang Tobelo (Boeng) atau orang-orang Togutil asli. Sampai saat ini tidak ada satu keteranganpun yang memberi petunjuk jelas tentang perbedaan tersebut. Dan rupanya, hingga saat ini pengertian “Orang Togutil” selama ini telah dipakai untuk penamaan semua orang pengembara yang hidup di hutan pedalaman pulau Halmahera di Maluku Utara.
Para peneliti dari Universitas Patimura yang melakukan penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa adanya penolakan orang-orang Togutil Dodaga untuk menerima anggapan bahwa mereka termasuk suku bangsa Togutil dan bahklan mereka menunjuk orang lain (orang Biri-biri) sebagai orang Togutil, hal ini mungkin sesuai kenyataan bahwa mereka itu adalah orang-orang Tobelo (Boeng) yang dahulu melarikan diri ke hutan. Kenyataan ini ditunjang oleh penunjukan tempat asal mereka yaitu pada Desa-Desa asal Tobelo dan Kao yang bukan tempat kediaman suku Togutil asli.
Dengan demikian, maka pasti timbul pertanyaan; Siapa sebenarnya suku Togutil itu..? Meskipun persoalan ini belum dapat terpecahkan hingga saat ini orang mengenal Suku Togutil di pedalaman hutan Halmahera ada dua, yaitu; 1) Orang Togutil Dodaga yang sudah bisa diajak relokasi oleh Pemerintah dan 2) Orang Togutil Asli yang masih hidup di hutan pedalaman yang masih menggunakan pola hidup dan ketergantungan hidup dari pemberian alam (nomaden) dan belum mengenal sistem bercocok tanam serta kehidupan yang belum tersentuh oleh dunia luar.
HUTAN SUNGAI & GOA SEBAGAI RUMAH SUKU TOGUTIL
Orang suku Togutil ada yang bermukim di daerah pantai namun sebagian besar berada di hutan pedalaman yang ada sungai yang menjadi sumber kehidupan mereka. Mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan kekuasaan yang mengikat. Mereka juga tidak mengenal sistem bercocok taman dan pemukiman. Kebanyakan dari mereka mengembara di hutan-hutan tertentu dengan gua-gua atau rumah darurat sebagai tempat bernaung yang dianggap dunianya. Mereka hidup bergantung pada alam. Dalam berpakaian, mereka masih menggunakan “cawat” yang terbuat dari daun dan kulit kayu, tanpa mengenakan baju.
Orang-orang suku Togutil asli yang hidup di tengah rimba Halmahera kerap dihujani prasangka; terbelakang dan membenci orang asing. Mereka menggunakan anjing sebagai tindakan awal untuk menghalau jika ada orang asing memasuki wilayah mereka.
Karena hutan adalah rumah bagi orang-orang suku Togutil, maka pohon dianggap sebagai sumber kelahiran generasi baru. Di samping pelekatan unsur magis tersebut, pohon juga bisa menjadi simbol kelahiran (reproduksi genetika). Saya mengutip beberapa catatan pada hasil Lomba YPHL (2008) dengan topik; Pohon Sebagai Simbol Kelahiran, Mempertimbangkan Pemahaman Lokal tentang Pohon dalam Upaya Pemulihan Kerusakan Hutan, yang ditulis oleh Anthon Ngarbingan dalam www.kabarindonesia.com tanggal 31 Oktober 2008, mengemukakan bahwa ada beberapa kelompok masyarakat seperti suku Togutil di daerah Baborino, Buli, Halmahera Timur – Provinsi Maluku Utara, yang menggunakan pohon sebagai lambang kelahiran seorang bayi di tengah-tengah keluarga. Ketika seorang bayi lahir, maka salah satu anggota keluarga harus menanam satu pohon, yang menyimbolkan hadirnya generasi baru di tengah-tengah keluarga.
Hal-hal seperti ini yang menyebabkan orang-orang Togutil bisa bertahan dalam hutan, dengan tanpa harus merusak hutan. Padahal, pola hidup mereka berpindah-pindah tempat. Praktek semacam ini juga dilakukan oleh beberapa keluarga yang tinggal di Tobelo, Halmahera Utara. Mereka sering menanam satu buah pohon sebagai simbol kehadiran seorang bayi ditengah-tengah keluarga.
Orang-orang Togutil menganggap bahwa kaitan antara anak yang dilahirkan dengan pohon yang ditanam adalah kehidupan mereka sebenarnya akan juga seperti pohon itu, dengan mana akan tumbuh besar dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna bagi semua orang.
Orang-orang suku Togutil sampai saat ini belum mengenal sistem bertani, sistem mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan hasil hutan dan berburu dalam jangka waktu tertentu, kemudian hasil yang didapat dimakan bersama. Selama bahan makanan masih ada, para anggota keluarga luas tidak melakukan kegiatan mencari makan. Mereka akan kembali melakukan pengumpulan makanan dan berburu apabila cadangan makanan hampir habis. Orang suku Togutil biasanya mendapatkan makanan langsung dari pohonnya, seperti; buah-buahan dan umbi-umbian.
Cara berburu suku Tugutil adalah berkelompok (semua orang laki-laki dari anggota keluarga luas) dengan menggunakan anjing. Alat-alat berburu yang digunakan adalah tombak, parang dan panah disertai tuba (racun). Dalam usaha menagkap buruan,mereka juga mengenal penggunaan jerat. Orang-orang Togutil mahir membuat jerat dari seutas rotan dan tanaman muda yang lentur melengkung untuk menjerat. Jenis binatang yang diburu adalah babi, rusa, ayam hutan, burung, kuskus, ular, biawak dan kelelawar.
Orang-orang suku Togutil dalam usaha mengumpulkan makanan, melakukan secara berkelompok, misalnya meramu sagu, atau sendiri-sendiri seperti mengumpul umbi-umbian (Bete, Mangere & Gihuku) dan buah-buahan. Karena mereka berdiam di dekat aliran sungai, maka menangkap ikan juga merupakan mata pencaharian pokok. Seruas bambu disulap jadi panci penanak nasi atau ramuan obat, dan selembar manggar, daun lontar muda dirangkai jadi takir, cangkir alami. Getah damar dari hibum, kenari raksasa sebesar bola tenis, empat kali kenari biasa, bagian kulitnya dipenggal, dibakar, nyalanya seperti lilin penerang malam hari.
Bagi orang-orang suku Togutil, anjing merupakan harta yang paling tinggi. Seorang Togutil tanpa anjing akan lumpuh dalam pekerjaan dan tidak bergairah. Hal ini mungkin karena peranan anjing begitu besar dalam kehidupan seorang Togutil di hutan, baik dalm berbuiru maupun mencari nafkah. Kemanapun orang suku Togutil pergi, ia akan disertai anjingnya. Karena itulah tidak heran bila seekor anjing dapat menimbulkan permasalahan persengketaan antar perorangan maupun antar kelompok yang berujung pada perang kecil. Masalah bunuh-membunuh, keretakan hubungan antar kerabat dan antar kelompok bisa saja dapat timbul akibat seekor anjing.
Informasi lain tentang suku yang nyaris telanjang (berpakaian cawat) ini amat beragam. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1996) menyebutnya sebagai “Suku Togutil” yang tinggal di hutan Dodaga dan Tutuling, Kecamatan Wasile, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Menurut Ensiklopedi ini, populasi orang Togutil saat itu 600 orang. Sumber lain menyebutnya “Oho Ngana Manyawa” yang bermakna orang hutan atau orang rimba yang suka membunuh (menghabisil nyawa) orang asing.
Dalam tulisan Christantiowati di Majalah Intisari Edisi September 2008, halaman 124-130 menulis bahwa Rachma Tri Widuri dari lembaga Pelestarian Burung Indonesia, dan Atiti Katango, jagawana dari Taman Nasional (TN) Aketajawe, yang mengantar Tim ini ke tepi Sungai Tayawi, dekat Kampung Kumu, hanya 15 menit bermobil dan Desa Bale, mengemukakan bahwa warga Desa Bale, Kecamatan Oba, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara berceritera kepada mereka bahwa orang-orang suku Togutil itu dulu warga yang “lari pajak” (tak mau bayar pajak), jadi lari atau diusir Belanda masuk hutan. Mereka bisa ditemui pula di sekitar Desa Tutur, Tukur, Totodoku, Oboi, Tatam, Lili, Mabulan, dan Baken. Mereka disebut Tobelo Dalam atau Tobelo Hutan, untuk membedakan dari Tobaru, Tobelo Kampung atau yang sudah ke kota.
Suku Togutil yang kita kenal hingga saat ini, suatu saat nanti siapa sangka mungkin hanya tinggal kenangan. Kini populasi suku ini semakin berkurang. Hal ini bisa saja karena kondisi kebiasaan hidup mereka yang tidak teratur yang mengakibatkan jumlah kelahiran tidak sebanding dengan kematian dari anggota suku ini. Hal lain adalah tabiat mereka yang takut melihat manusia lain dan ini menutup kesempatan mereka mendapatkan makanan pada musim sulit sehingga pada akhirnya mempengaruhi perkembangan populasi dan reproduksi genetika mereka. Semoga suku ini tidak mengikuti jejak Suku Moro di Halmahera utara yang hilang misterius (gaib) di abad sebelumnya. Semoga saja “National Geography” berminat melakukan eksplorasi ke tempat ini……!
Satu hal yang paling berharga yang telah ditunjukkan oleh suku Togutil yang kita anggap “kurang” beradab ini telah menjadi pelajaran untuk kita semua, yakni; “Peliharalah alam, lestarikanlah hutan & jangan sekali-kali merusaknya”. Sekali lagi, mereka membuktikan bahwa kita yang merasa diri si “beradab” ini yang harus belajar kearifan dan keramahan dari mereka. Saya yakin anda semua pasti setuju dengan ini…! (@.Busranto Abdullatif Doa)
(Original post by : @ www.busranto.blogspot.com & www.ternate.wordpress.com)

copas dari : http://ternate.wordpress.com/2009/03/25/mengenal-orang-togutil-suku-terasing-di-pulau-halmahera-2/