Saya dilahirkan
di sebuah desa kecil bernama Bojongpicung di Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat,
pada 22 Agustus 1986. Hari itu Jumat yang terik, begitu ibu saya bercerita.
Sekitar pukul 13.25, saat orang-orang pulang shalat Jumat, nenek adalah orang
pertama yang memangku tubuh mungil saya. Ia bisikkan hamdalah pertama di
telinga saya. Saya bisa membayangkan senyumnya ketika itu, yang kemungkinan besar
masih sama seperti senyumnya yang sekarang. Senyum yang tak tergantikan.
Hari ini usia
saya genap 28 tahun. Saya bisa memanfaatkan hari ini untuk bercerita tentang
apa saja dari hidup saya selama dua puluh tujuh tahun terakhir. Saya bisa
bercerita tentang Ii, begitu saya memanggil ibu saya. Saya bisa bercerita
tentang ayah. Atau apapun saja. Tetapi hari ini saya ingin menuliskan sesuatu
untuk nenek saya, perempuan mulia yang tanpanya saya tak mungkin terlahir ke
dunia ini. Perempuan yang tak tergantikan.
Bukan semata
karena nenek yang membantu persalinan ibu ketika melahirkan saya. Tetapi lebih
dari itu. Nenek adalah sumber bagi hadirnya kasih sayang ibu dalam kehidupan
saya. Ini barangkali terlihat sederhana. Tapi coba bayangkan sekali lagi. Tanpanya,
yang melahirkan sekaligus membesarkan ibu saya dengan cinta, saya tak mempunyai
musabab untuk bisa terlahir ke dunia. Barangkali saya tak akan pernah ada.
Jalan hidup saya dimulai dari jalan hidup ibu saya dan jalan hidup ibu dimulai
dari pilihan-pilihan yang dibuat oleh ibunya. Dialah nenek saya: Manusia biasa
yang secara luar biasa terus menghubungkan saya ke masa lalu—ke sumber-sumber
kehidupan yang barangkali tak bisa saya lacak dan bayangkan lagi… Jalan hidup
yang tak tergantikan.
Hari ini Jumat,
22 Agustus 2014. Waktu barangkali hanya satuan angka-angka yang tak bermakna
jika kita hanya memandangnya dari kalender atau jarum jam yang bergerak dalam
arloji. Waktu hanya durasi. Dan saya telah mengulang-ulang tanggal kelahiran
saya untuk kedua puluh delapan kalinya. Tetapi itu “waktu mati”, apa gunanya
waktu mati jika tak kita maknai dengan “waktu hidup”? Waktu hidup yang tak
tergantikan.
Saya membuka
sebuah pintu dalam kamar ingatan saya, memasuki waktu hidup saya. Selalu ada
nenek di sana. Meski kami tak punya waktu-waktu panjang untuk bersama-sama,
selalu ada nenek dalam setiap sudut kehidupan saya. Nenek selalu bercerita dan
berpesan dengan caranya sendiri. Meski barangkali kita hanya bertemu satu tahun
sekali, setiap lebaran. Tetapi percakapan-percakapan dengan nenek selalu
penting. Pecakapan-percakapan yang tak tergantikan.
Saya ingat
suatu hari mengendap masuk ke kamarnya yang tua dan lembab. Saya duduk di atas
sajadah tempatnya berdoa. Mata saya mengamati apapun saja yang ada di sana.
Al-Quran, doa-doa, tasbih dan catatan nama-nama. Saya masih ingat wajah nenek
yang tersenyum ke arah saya yang masih empat belas atau lima belas tahun,
“Doakan nenek,” katanya lembut, sambil mengusap-usap rambut saya. Saya
menggelengkan kepala. Tersenyum malu. Saya membaca nama saya di salah satu
daftar nama yang dituliskan nenek untuk didoakan, anak-anak dan cucu-cucunya.
Hari ini saya membayangkan doa-doa itu dibacakan nenek selama bertahun-tahun.
Doa-doa yang tak tergantikan.
Di antara
berbagai kebahagiaan dan keberhasilan yang saya dapatkan dalam hidup ini,
berapa banyak yang sebenarnya berasal dari doa-doa nenek? Saya ingat hari
ketika saya membawa calon istri saya ke rumah. Waktu itu nenek sedang berada di
rumah orangtua saya di Bandung. Setelah calon istri saya pulang, kedua orangtua
saya tak memberikan komentar apa-apa tentang Rizqa. Saya kecewa setengah mati,
saya ragu orangtua saya menyukai Rizqa. Tetapi nenek adalah orang pertama yang
membesarkan hati saya. Nenek mengatakan pada saya bahwa dia menyukai Rizqa.
Tersebab nenek, barangkali, orangtua saya pada akhirnya mengizinkan saya
menikahi Rizqa. Perempuan yang tak mungkin tergantikan dalam hidup saya.
Hari ini udara
Melbourne begitu cerah. Saya mendapatkan berbagai ucapan bahagia dari
teman-teman, sahabat dan banyak orang lainnya. Tetapi saya mendapatkan kabar
sedih tentang nenek saya. Sudah beberapa hari sakit nenek bertambah parah. Di
usianya yang sudah 85 tahun, hari ini saya merasa berulang tahun di situasi
yang salah. Saya ingin bisa berada di samping nenek, bercerita tentang apa
saja, meminta doa apa saja, mendekap tubuh mulianya, membelai rambut-rambut
peraknya. Saya tak ingin kehilangan cinta dan kasih sayangnya yang tak
tergantikan.
Ya Allah, jika
saya punya sedikit saja kebaikan yang pernah saya lakukan dalam hidup ini,
terimalah kebaikan itu. Maka izinkan saya meminta-Mu untuk membalasnya saat ini
juga, dengan cara apapun saja, sembuhkanlah sakit nenek saya dan berikan
keselamatan serta kebahagiaan dari cahaya-Mu sebanyak-banyaknya. Ya Allah,
untuk doa kebaikan apapun saja yang saya terima hari ini dari siapapun saja,
limpahkanlah semua doa itu untuk nenek saya… Dengan cara apapun saja yang
Engkau pilih.
Untuk kalian
semua, terima kasih telah turut membaca catatan ulang tahun saya ini. Terima
kasih telah turut berdoa dan mengaminkan doa saya. Momen ini tak tergantikan.
Cianjur 1986-
Melbourne 2014
repost from http://fahdpahdepie.com/post/95421825462/yang-tak-tergantikan