Minggu, 24 Agustus 2014

Yang Tak Tergantikan



Saya dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Bojongpicung di Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat, pada 22 Agustus 1986. Hari itu Jumat yang terik, begitu ibu saya bercerita. Sekitar pukul 13.25, saat orang-orang pulang shalat Jumat, nenek adalah orang pertama yang memangku tubuh mungil saya. Ia bisikkan hamdalah pertama di telinga saya. Saya bisa membayangkan senyumnya ketika itu, yang kemungkinan besar masih sama seperti senyumnya yang sekarang. Senyum yang tak tergantikan.    

Hari ini usia saya genap 28 tahun. Saya bisa memanfaatkan hari ini untuk bercerita tentang apa saja dari hidup saya selama dua puluh tujuh tahun terakhir. Saya bisa bercerita tentang Ii, begitu saya memanggil ibu saya. Saya bisa bercerita tentang ayah. Atau apapun saja. Tetapi hari ini saya ingin menuliskan sesuatu untuk nenek saya, perempuan mulia yang tanpanya saya tak mungkin terlahir ke dunia ini. Perempuan yang tak tergantikan.

Bukan semata karena nenek yang membantu persalinan ibu ketika melahirkan saya. Tetapi lebih dari itu. Nenek adalah sumber bagi hadirnya kasih sayang ibu dalam kehidupan saya. Ini barangkali terlihat sederhana. Tapi coba bayangkan sekali lagi. Tanpanya, yang melahirkan sekaligus membesarkan ibu saya dengan cinta, saya tak mempunyai musabab untuk bisa terlahir ke dunia. Barangkali saya tak akan pernah ada. Jalan hidup saya dimulai dari jalan hidup ibu saya dan jalan hidup ibu dimulai dari pilihan-pilihan yang dibuat oleh ibunya. Dialah nenek saya: Manusia biasa yang secara luar biasa terus menghubungkan saya ke masa lalu—ke sumber-sumber kehidupan yang barangkali tak bisa saya lacak dan bayangkan lagi… Jalan hidup yang tak tergantikan.

Hari ini Jumat, 22 Agustus 2014. Waktu barangkali hanya satuan angka-angka yang tak bermakna jika kita hanya memandangnya dari kalender atau jarum jam yang bergerak dalam arloji. Waktu hanya durasi. Dan saya telah mengulang-ulang tanggal kelahiran saya untuk kedua puluh delapan kalinya. Tetapi itu “waktu mati”, apa gunanya waktu mati jika tak kita maknai dengan “waktu hidup”? Waktu hidup yang tak tergantikan.

Saya membuka sebuah pintu dalam kamar ingatan saya, memasuki waktu hidup saya. Selalu ada nenek di sana. Meski kami tak punya waktu-waktu panjang untuk bersama-sama, selalu ada nenek dalam setiap sudut kehidupan saya. Nenek selalu bercerita dan berpesan dengan caranya sendiri. Meski barangkali kita hanya bertemu satu tahun sekali, setiap lebaran. Tetapi percakapan-percakapan dengan nenek selalu penting. Pecakapan-percakapan yang tak tergantikan.

Saya ingat suatu hari mengendap masuk ke kamarnya yang tua dan lembab. Saya duduk di atas sajadah tempatnya berdoa. Mata saya mengamati apapun saja yang ada di sana. Al-Quran, doa-doa, tasbih dan catatan nama-nama. Saya masih ingat wajah nenek yang tersenyum ke arah saya yang masih empat belas atau lima belas tahun, “Doakan nenek,” katanya lembut, sambil mengusap-usap rambut saya. Saya menggelengkan kepala. Tersenyum malu. Saya membaca nama saya di salah satu daftar nama yang dituliskan nenek untuk didoakan, anak-anak dan cucu-cucunya. Hari ini saya membayangkan doa-doa itu dibacakan nenek selama bertahun-tahun. Doa-doa yang tak tergantikan.

Di antara berbagai kebahagiaan dan keberhasilan yang saya dapatkan dalam hidup ini, berapa banyak yang sebenarnya berasal dari doa-doa nenek? Saya ingat hari ketika saya membawa calon istri saya ke rumah. Waktu itu nenek sedang berada di rumah orangtua saya di Bandung. Setelah calon istri saya pulang, kedua orangtua saya tak memberikan komentar apa-apa tentang Rizqa. Saya kecewa setengah mati, saya ragu orangtua saya menyukai Rizqa. Tetapi nenek adalah orang pertama yang membesarkan hati saya. Nenek mengatakan pada saya bahwa dia menyukai Rizqa. Tersebab nenek, barangkali, orangtua saya pada akhirnya mengizinkan saya menikahi Rizqa. Perempuan yang tak mungkin tergantikan dalam hidup saya.

Hari ini udara Melbourne begitu cerah. Saya mendapatkan berbagai ucapan bahagia dari teman-teman, sahabat dan banyak orang lainnya. Tetapi saya mendapatkan kabar sedih tentang nenek saya. Sudah beberapa hari sakit nenek bertambah parah. Di usianya yang sudah 85 tahun, hari ini saya merasa berulang tahun di situasi yang salah. Saya ingin bisa berada di samping nenek, bercerita tentang apa saja, meminta doa apa saja, mendekap tubuh mulianya, membelai rambut-rambut peraknya. Saya tak ingin kehilangan cinta dan kasih sayangnya yang tak tergantikan.

Ya Allah, jika saya punya sedikit saja kebaikan yang pernah saya lakukan dalam hidup ini, terimalah kebaikan itu. Maka izinkan saya meminta-Mu untuk membalasnya saat ini juga, dengan cara apapun saja, sembuhkanlah sakit nenek saya dan berikan keselamatan serta kebahagiaan dari cahaya-Mu sebanyak-banyaknya. Ya Allah, untuk doa kebaikan apapun saja yang saya terima hari ini dari siapapun saja, limpahkanlah semua doa itu untuk nenek saya… Dengan cara apapun saja yang Engkau pilih.

Untuk kalian semua, terima kasih telah turut membaca catatan ulang tahun saya ini. Terima kasih telah turut berdoa dan mengaminkan doa saya. Momen ini tak tergantikan.


Cianjur 1986- Melbourne 2014

repost from  http://fahdpahdepie.com/post/95421825462/yang-tak-tergantikan