Senin, 25 Agustus 2014

Her name is Anggi



Selasa pagi, sebelum Subuh sudah rapih dan wangi. Setelah sholat Subuh dan sarapan segelas madu hangat langsung cuss ke Sekolah baru yang jaraknya patut di syukuri, sebab di luar sana masih banyak guru yang harus menempuh medan ekstrem demi berbagi ilmu.
Jam 6 lebih sudah tiba disekolah yang di maksud, Sekolah Dasar unggulan di kawasan tersebut. Tidak lebih dari jam 6.30 sekolah sudah ramai oleh siswa siswi. Saya mengikuti guru lainnya menjemput siswa siswi di depan gerbang dan menyalaminya. Tanpa alasan dan maksud apapun, karena status saya freelance  baru jadi saya harus mampu menyesuaikan diri dengan kebiasaan di sekolah tersebut.
Oya, saya tidak mengajarkan mata pelajaran di sekolah ini atau menjadi guru kelas, tapi status saya adalah Guru Pendamping Khusus. Kenapa disebut dengan Guru Pendamping Khusus atau GPK? Saya tidak akan menjelaskanya disini,
Tanpa di komando sebelum pukul 7 siswa-siswi kelas 2A sudah berbenah dan siap dengan seragam olah raga mereka, tepat pukul 7.00 hingga 7.15 siswa-siswi dibiasakan untuk tadarus Al Quran bagi yang beragama muslim, karena kelas 2A jam pertama adalah pelajaran olahraga mereka tetap melakukan tadarus bersama di kelas dengan di pandu oleh guru kelas.
Semua telah memulai tadarus, saya masih berdiri di depan kelas dan siap dengan kostum olahraga saya.
Beberapa saat kemudian, datang seorang ibu cantik memakai blue jeans dan blazzer hitam dengan baju dasar kaos gucci. Make upnya minimalis, beliau terlihat smart dan anggun.
Beliau sedikit berlari ke arah saya, menuntun gadis kecil lengkap dengan kostum olahraganya. Semakin mendekat semakin terlihat ibu itu tersenyum ke arah saya “ini pasti ibu Sri Agus yah? Maaf Anggi telat bangun tadi”
Iya, yang saya tunggu sejak pukul 6.30 adalah dia. Dia yang membuat saya ada di sekolah unggulan ini Anggi Aprillian Az Zahra.
“Iya ibu.. paggil saja saya ii”
Anggi gadis itu masih tersenyum lebar, setengah berlonjak kegirangan lantas menyalami saya.
Kegiatan selanjutnya adalah menenangkan Anggi, dia menangis karena di tinggal bundanya. Bunda Anggi bekerja sebagai advokat di sebuah PPAT di daerah Jalan Suci. Dulu selama setahun sebelum saya berada disini, kegiatan menenangkan Anggi jika menangis di tinggal bundanya adalah tugas baby sitternya. Bukan tugas guru.
Menangisnya hanya sesaat. Selebihnya kita asyik lempar-tangkap bola bersama-sama.
2 jam berlalu. Anggi sudah rapi dengan seragam Merah Putihnya dan duduk istirahat di bangku bawah pohon.
Dia tak ada teman bermain. Anggi yang masih disuapin oleh baby sitternya terlihat nyaman. Saya hanya melihatnya dari depan pintu ruang guru.
Saat diruang kelas.
Teman Anggi 1: “ibu ii, kok mau sih ngajarin Anggi? Dia ka ga bisa baca. Dia kalau nulis harus pakai ackrilik”
Teman Anggi 2: “ Ibu ii, kenapa sih muka Anggi kaya monyet?”
Teman Anggi 3: “ eh ibu ii, tau ga kalau kita panggil Anggi itu siapa?”
Aku : “siapa emang?”
Teman Anggi 3: (sambil berbisik) “simon. Simonyet”
Lalu mereka nyengir.
Asli, saya langsung berkaca-kaca. Yaa Gustiii
Anggi Aprillia Az Zahra—dia pengidap down sindrome. Anak pertama dari pasangan super sibuk ayah sama bundanya. Dulu ketika mengandung Anggi, ibunya pernah flu dan meminum obat-obatan warung tanpa resep dokter. Karena jarak rumah kantor yang lumayan jauh, ibu Anggi seringkali kecapean. Saat usia 8 bulan di kandungan, ibu Anggi pernah mengalami pendarahan tanpa sebab. Anggi terlahir normal dengan usia kandungan yang telah matang. Down sindrome adalah suatu kelainan genetik pada kromosom 21 atau 23 ( maaf jika salah), jadi tidak ada keterkaitan antara kelahiran seorang anak yang mengidap down syndrome dengan sebuah kutukan.
Yang perlu kita ketahui adalah, mereka sama seperti kita. Memiliki hak hidup yang layak selayaknya kita yang menyebutkan diri sebagai manusia normal. Tak ada bedanya. Mereka yang seperti Anggi tak ingin di jauhi, mereka hanya ingin berteman dan bersosialisasi. Tidak ingin dikasihi, mereka hanya butuh pengakuan bahwasanya mereka itu ada sebagai bagian dari masyarakat.
Sebuah penolakan di dalam keluarga yang mendapatkan ‘anugrah’ tersebut awalnya pasti ada. Bahkan tidak sedikit yang berahir pada traffiking dan penelantaran pada panti sosial. Begitu pula dengan Bunda Anggi—sedikit bercerita, dia merasa sedang di kutuk oleh Sang Maha Pemberi Hidup yang berahir dengan menghujatNya. Selama 3 tahun, Anggi tidak diperkenalkan bundanya kepada sapapun bahkan beliau trauma untuk memiliki keturunan kembali. Parahnya dengan hadirnya Anggi tersebut, justru menjadi perpecahan rumah tangga beliau. Bunda Anggi kekeuh, kondisi Anggi saat ia terlahir adalah dosa masa lalu suaminya yang di karmakan kepada anak mereka. Begitu pula dengan ayah Anggi, beliau menuduh bunda Anggi (maaf) selingkuh sehingga mereka dikarunia putri down sindrome. Sekali lagi, down syndrome bukanlah kutukan ataupun keturunan melainkan adanya ketiksempurnaan kromosome didalam membelah diri. Anggi hanya dirawat oleh baby sitter.
Disinilah diperlukannya peranan wanita cerdas. Karena gagalnya rumah tangga, beliau tidak ingin berdiam diri saja. Sebab jauh sebelum Anggi terlahir beliau memimpikan Anggi sebagai anak yang talented. Hingga suatu waktu bunda Anggi menemukan sebuah komunitas bagi orang tua yang memiliki anak pengidap down syndrome.
“ dari sini saya sadar bu ii, bahwa anak itu ujian buat ibunya. Sepandai atau sebodoh apapun anak kita dia tetaplah ujian. Tinggal bagaimana kita mampu menyelesaikan program ujian tersebut. Bu ii pernah nyontek kan sewaktu ujian. Disini juga saya ingin menyontek dan berguru lebih dari ibu-ibu lain yang memiliki anak luar biasa seperti Anggi”
Subhanallah.. wanita itu memang wajib cerdas.
“dari sini saya mulai tahu tentang Anak Luar Biasa (Anak berkebutuhan khusus). Saya browsing2, ternyata bukan saya saja yang dianugerahi anak seperti mereka. Betapa hebatnya mereka yang mampu mengantarkan anak luar biasanya menjadi anak yang talented dengan keluarbiasaannya. Mereka itulah wanita cerdas sesungguhnya, bu ii”
Dari sejak saat itulah bunda Anggi membesarkan anggi sendiri tanpa sosok ayah. Beliau selalu yakin dan meyakini bahwa apa yang dilakukannya tersebut adalah sebuah pengabdian.
“apa yang kita lakukan dan kondisi kita sangat berpengaruh pada perkembangan psikologis anak bu, itu yang saya baca. Saya masih belum faham dengan itu. Tapi saya pernah mengalaminya, Anggi selalu lebih peka terhadap kondisi saya. Dia akan susah diatur jika kondisi saya saat memerintahkannya dalam suasana kacau”
“saya tidak peduli bahkan saya bangga ketika Anggi mengamuk atau merusak tanaman bunga milik tetangga saya. Saya akan lebih legowo untuk menggantinya, berapapun itu. Itu saat-saat dimana Anggi membutuhkan untuk sebuah pengakuan. Tapi hati saya hancur bu ii, ketika disekolah Anggi tidak diperhatikan oleh guru-gurunya dan tidak memiliki kawan. Apa salah anak saya? Sanking saya sayangnya pada Anggi, saya juga ikut bergabung dengan organisasi yang diampu oleh ibu walikota ( Ibu Dada Rosyada) untuk mengkampanyekan Anak-Anak Berkebutuhan Khusus bahwa mereka itu sama. Saya hanya berharap satu, Anggi bisa diterima oleh orang-orang disekitarnya termasuk keluarga saya”
“sekarang saya bertanya pada ibu ii, kenapa ibu ii mengambil jurusan PLB saat masuk perguruan tinggi?”
Saya tidak menjawabnya, dan senyum memaksakan
“apapun jawaban ibu ii, pasti alasannya karena ibu care sama mereka. Mereka yang tidak bisa melihat, mendengar, berbicara, membaca apapun itu pasti alasan ibu karena care. Jika sebagian remaja saja bisa ikhlas untuk merelakan masa depannya dengan mengabdi untuk anak-anak luar biasa, mengapa kebanyakan disana sangat susah untuk menerima anak saya sebagai kawannya?”
------------------------------------------------------------------------------

Yaa Kholiq... Ya Kholiq... Yaa Kholiq...
Kenapa ridhomMu sungguh susah didapatkan? Kenapa hidayah itu sangat jauh dari saya? Kenapa untuk sekedar bersyukur dan meluruskan niat itu terasa sangat sulit? Sedangkan beribu kebaikan dan ladang ikhlas telah terbentang sejauh mata memandang
Apa yang kau sangkakan padaku itu salah Bunda Anggi... semoga saya selalu diberikan kesempatan untuk kembalikan meluruskan niat dan memperbaiki diri
Terimakasih my Anggi pernah mengenalmu sejauh saya bisa. Semoga semangat-semangatmu tidak pernah surut dan menjadi sumber semangat bagi saya yang harus belajar dari kisah hidupmu agar suatu saat memang benar-benar pantas untuk menyandang nama ibu guru sebelum nama saya. Semoga kita masih dipertemukan dilain kesempatan.


Catatan kuliah Hambatan Interaksi Komunikasi, Bandung 2012