Senin, 25 November 2013

untitled_

Semua teman-teman memakai seragam Pramuka rapih berikut atributnya. Yang saya ingat, semua teman-teman masa SMP saya berada di lapang itu, sebuah lapang sepakbola kecamatan yang biasa digunakan untuk upacara hari besar nasional, sholat Ied atau tempat olahraga sekolah disekitar termasuk Ibtidaiyah dan TK tempat saya sekolah dulu.
Disitu ada beberapa kelompok regu, yang saya ingat pula saat itu saya satu regu dengan Liya dan Rif’aini—atlet  lempar cewe dari Prendengan. Sebelum kami dikumpulkan di lapang itu, sebelumnya ada pertandingan sepeda down hill. Rutenya Banjarkulon-Kandangan-Kayunan dan finish di lapang tempat kami berkumpul saat itu (Kandangan). Meskipun saya tidak mengikuti tournament down hill itu tapi lelah yang mereka rasakan sepertinya saya rasakan juga, nafas saya seperti habis berlari dan mengayuh yang begitu jauh terasa panas.
Acara di lapang saat itu bebas, kami di bebaskan untuk bermain-main namun masih tetap pada barisan kami. Saya sedikit kecewa karena harus disatukan dengan Rif’aini tapi saat itu saya tidak memilliki pilihan pula untuk memilih kelompok yang lain. Rif’aini hanya diam, tidak mau tersenyum bahkan bicara dia hanya suka berdiri diam dan menunduk. Yang saya rasakan saat itu adalah ini tanggung jawab saya untuk bisa membuat Rif’aini berbicara atau sekedar tersenyum karena dia teman satu kelompok saya. Benar saja, Rif’aini ahirnya mau bicara bahkan dia tertawa saking senangnya saya langsung berteriak sambil berlari dan Rif mengejar dibelakang saya. Di sisi timur lapang ini terdapat satu buah pohon kelapa yang menjulang tinggi di salah satu pojoknya, spot ini biasanya digunakan oleh orang-orang untuk berteduh atau sekadar tempat mengobrol para guru yang sedang menunggui anak didiknya berolahraga. Tempat ini menjadi favorit karena selain rindang, angin yang bertiup akan semakin terasa sejuk jika duduk dibawah pohon ini. Tanah lapang ini luas dan panas karena sedikit pepohonan disekitarnya, kecuali pohon kelapa tadi. Tapi jika angin bertiup ditempat ini rok katun sekalipun bisa diterbangkan olehnya (saya pernah merasakan).
Saya berlari semau saya, serasa kecepatan lari Rif’aini pun tak secepat lari saya. Kemanapun saya berlari, Rif selalu mengejar saya dan saya mengarahkan kearah timur dan menambah kecepatan lari saya. Ketika mendekati kearah pohon kelapa rindang tadi samar-samar saya melihat sosok lelaki. Semakin mendekati pohon itu semakin saya memperlambat kecepatan dan saya mendapati Rif tidak mengejar saya lagi. Semakin dekat, semakin dekat sosok pria itu semakin jelas. Rambutnya utuh hitam pekat, tubuhnya tegap, sedang tapi tidak kurus, kulitnya bersih, tingginya 1/3 pohon kelapa itu. Beliau berdiri persis dibawah pohon kelapa itu, saya masih tetap berlari kearahnya. Pelan, pelan dan pelan ternyata pria itu menjinjing sebuah tas plastic hitam, entah apa isinya tapi bliau menatap tajam kearahku dengan diam. Semakin jelas saya lihat wajahnya yang teduh dan menatap tajam, ada sensasi sesak didada yang ahirnya menghentikan lari lantas berjalan mendekat. Beliau menggunaka celana kain, polo shirt bermotif belang dan jaket Adidas merah kesayangan saya, jelas sekali terlihat menggatung dipake beliau. Sesak didada semakin pekat, tangisku mulai pecah sejadinya sampai mataku tidak begitu jelas melihat kearahnya. Ketika saya menyeka airmata, ternyata beliau mengulurkan tangannya. Meskipun beliau tak berkata sepatah kata apapun, tapi saya memahaminya bahwa beliau ingin memberikan bungkusan didalam tas plastic hitam tersebut dan mengajak saya pergi. Kedua tangan saya masih menyeka mata yang basah sambil jalan mendekat kearah beliau. Selangkah saya menuju beliau, seperti dua langkah beliau pergi menjauhi saya. Tagannya masih terulur, wajahnya tenang, tak ada senyum diamnya mengisyaratkan bahwa beliau ingin mengajak saya pergi. Tiba-tiba dari arah belakang, teman-teman satu kelompok memanggil untuk segera kembali. Saya menoleh kearah mereka, sedetik saya berfikir “aku akan kembali pada kelompokku karena saat itu sedang ada perlombaan, dan saya akan segera kembali pada beliau”
Saat wajah saya kembali menoleh pada pria itu, dia menghilang pergi melalui gang disamping rumah dekat pohon kelapa itu. Oh, mungkin Bapak menungguku dirumah karena beliau sekarang telah kembali. Yap, pria itu adalah orang yang sangat dengan bagga hati saya panggil Bapak ketika matahari terbit hingga senja datang. Sesal datang kenapa tidak saya menerima uluran tanggannya untuk sekedar berjabat tangan dengannya. Mencium tangan tangguhnya untuk mendapatkan sebuah restu seperti dulu lagi.
Tak jauh dari pohon tersebut terdapat warung kecil yang digunakan sebagai dapur. Juru masak dapur itu memanggil saya dan mengajak masuk. Di dalam sangat panas, tetatpi orang-orang didalamnya begitu ceria. mereka bergurau bersama dan membuatku ikut tertawa juga.
Selesai_
Ketika saya terbangun, saya mendapati diri saya sedang setengah tertawa. Badan saya terasa sejuk seperti habis tertiup angin kencang dan keringat dingin segera mengucur. Saya sadar bahwa tadi itu hanya mimpi, mimpi yang detailnya sangat nyata. ketika ingatan saya kembali pada sosok teduh Bapak saya hanya bisa menangis sambil membaca 3 kali Al Fatihah yang tertahan ditenggorokan dan sekuat tenaga saya selesaikan.
Waktu menunjukan pukul 08.59 WIB itu artinya saya tertidur belum genap satu jam setelah semalaman saya begadang. Jika memang tadi adalah betul Bapak saat ini, saya akan sangat bahagia. Wajahnya teduh bersih, seperti saat 10 tahun ketika sebelum beliau berpulang. Semoga beliau sudah mendapatkan tempat terbaiknya disana menunggu kami untuk berkumpul bersama. Semoga akan ada masa untuk kami bisa bertemu dan berkumpul kembali.
Bandung, 24 November 2013