Minggu, 24 November 2013

sukses adalah metamorfosa ulat bulu menjadi kupu-kupu

Diantara kami berlima mungkin ii yang akan menjadi bontot untuk menyandang gelar sarjana. Awalnya tidak begitu maniak banget akan gelar sarjana terlebih title sarjana pendidikan. Sebuah title yang tidak pernah diimpikan dari awal. Seperti yang pernah saya katakana dulu, meskipun title  sarjana bukanlah segalnya dan manusia di bumi masih bisa hidup walau tanpa ada gelar sarjana dibelakangnya lantas ketika saya sejak 4 tahun silam mengikutsertakan diri mengubah title pelajar menjadi mahasiswa maka untuk saat ini gelar sarjana dan 3 huruf di belakang nama adalah menjadi sebuah tujuan ahir;
Bahwasanya nama adalah sebuah doa. Ketika kita mendoakan orang lain maka kita sedang meminta kebaikan untuk diri sendiri pula_
Saya tau persis hal ini, ada imbuhan huruf di depan atau belakang nama tidak akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang  tanpa adanya suatu pemaksimalan usaha untuk menaikan kualitas tersebut dari diri. Menjadi sarjana bukan jaminan mutlak. Yang saya tau hari ini, di Negeriku tercinta Indonesia tidaklah pernah mengenal system kasta dari jaman merdeka hingga tulisan saya ini di posting. Tapi Negeriku yang eksotis ini rakyatnya menjadi “budak” kasta lantas latah sarjana, eh latah apapun itu ketang. Mereka anggap (kecuali saya ^^v) ketika nama asli kita telah dibubuhi kata sarjana akan meningkatkan derajat dan status kita di masyarakat. Yang semula anak tukang becak maka tetap pula menjadi tukang becak, ups maap maksudnya yang semula dia direndahkan karena keadaan ekonomi kelas bawah ketika telah lulus dan menjadi sarjana akan berubah kelas menjadi lebih tinggi. Yap, itu anggapan semua orang. Lalu, semua dan semua orangpun akan ‘latah’ menyekolahkan anaknya hingga setinggi Tugu Monas demi sebuah status tanpa tahu esensi sesungguhnya tentang sekolah. Benarnya status mereka hanya berganti saja, bukan berubah. Dari Sikampret Notojagad menjadi Sikampret Notojagad, M.Si <hanya contoh>. Karena yang dikejar adalah sebuah pergantian status dengan penambahan gelar.
Long Live Education, diklaim sebagai jargonnya mahasiswa PLS. Education for All, jargonnya mahasiswa PLB. Sok voting  saha nu meunang  <piiis ini becandaan aja. Tanpa ada maksud membully>
Sejatinya kita belajar adalah seumur hidup dari kita pertama melihat remang-remang cahaya bumi hingga sampai sebelum raga kita dikebumikan. Dimanapun itu tempatnya kesemuanya adalah tempat dan media pembelajaran kita. Saat kita mulai beranjak menuju suatu tempat dari tempat kita duduk saat ini adalah sebuah kegiatan pembelajaran yang mengaktifkan sebagian besar anggota tubuh kita. Sederhana sekali, tapi dalam kegiatan sepele ini motorik, kognitif, afektif hingga yang fiktif juga ikut berperan dalam proses pencapaian tujuan. Itu artinya kita dapat belajar dari apapun, meskipun hal sederhana.
Jadi belajar bukanlah suatu kegiatan duduk ketika dikelas, mendengarkan, mengerjakan ulangan, membuat PR, ujian, Lulus lantas naik pada jenjang berikutnya. Itu kesemuanya hanyalah formalitas membosankan, yang mungkin pada puncaknya bukanlah ilmu yang dikejar melainka sebuah status. Oyah, sekarang kan ada tuh sekolah alam. Jadi kita belajarnya di kebon kaya gitu biar menyatu dengan alam. Anak tidak jenuh dan stress dan bla bla bla. Itu hanya bahasa lain, inti kegiatan belajarnya masih sama. Cuma anak-anak saja yang tempat belajarnya dipindahkan dari kelas keaalam terbuka.
Berbicara belajar tidak akan pernah berujung, sepertihalnya sedang berbicara tentang cinta. Pada intinya untuk sukses itu tidaklah dibutuhkan gelar sarjana. Gelar sarjana adalah sebuah bukti saja atas pencapaian ‘belajar’ suatu disiplin ilmu yang ingin mereka geluti. Sarjana itu batu loncatan untuk mengawal kita menuju pencapaian sukses seseorang. Entah mereka yang tetap berjalan lurus pada koridor kesarjanaanya itu ataupun dia benar-benar hanya menggunakan gelar sarjana sebagai batu loncatan saja.
Langkah awal menuju sukses adalah bagaimana kita menterjemahkan definisi sukses tersebut. Sukses menurut saya tentu tidak akan sama pengertiannya menurut Pak BeYe. Sukses bukan berarti juga bisa punya mobil Ferrari warna merah loh, bisa juga punya mobil Civic 2000 dikatakan sukses. Sukses adalah nilai (n).  Sukses adalah ketika kita bisa membawa perubahan pada diri untuk lebih baik dalam aspek apapun dari hari kemarin, itu rumus dasarnya. Maka sukses itu (n) tidak terhingga (~).
Tahu sendiri, di Negeri kita tercinta ini tanpa gelar manusia akan termarginalkan. Kaga punya title, pergi aje lo… Yang perlu kita punya atas arus deras system yang bodoh itu adalah sebuah benteng. Jangan menjadi sama oleh kebanyakan orang. Kata guru Matematika SMP saya dulu, “yang banyak belum tentu benar”. Maka benteng itu adalah kita belajar untuk sempurna, kita sekolah untuk pintar bukan untuk dibodohi, untuk gelar apalagi itu status. Jika kesempurnaan ilmu adalah sebuah orientas maka dunialah yang berhak tunduk dibawah kita. Jangan pedulikan setinggi apapun kita pernah belajar. Tapi lihat sejauh mana kita pernah mencoba-gagal dan belajar. Satu kunci di dalam belajar adalah keihklasan dalam hati untuk menjalaninya.
Oke guys, don’t woried about this note. Anggap saja sedang ada season celoteh anak.
Bagaimana dengan saya?
Anggaplah yang saya jalani ini sebuah kompensasi atas sebuah ketaatan. Bodoh sekali jawaban ini, seperti bukan jawaban manusia dari negeri beradab. Saya berada pada titik saat ini yang—telah pada ujung waktunya, adalah sebuah upaya menyeimbangkan neraca untuk mencari titik equilibriumnya hidup. Berada pada sebuah ruangan beratmosfer yang tidak saya butuhkan. Yang ketika saya hirup maka warna tubuhku akan berubah namun ketika saya abaikan maka yang terjadi adalah tubuhku hancur menjadi kepingan tak berupa. Sebuah pilihan sulit. <jika tidak paham maksudnya silakan layangkan pertayaan melalui email, -sok iyeh->
Yang saya lakukan adalah menjadi air. Saya dapat hidup pada atmosfer itu namun saya tidak hancur. Seperti air  yang abstrak, saya hari ini pun tak terlihat warnanya. Mungkin anda akan berpendapat bahwa saya tidak berpendirian, bebas saja.
Diantara kami berlima mungkin ii yang akan menjadi bontot untuk menyandang gelar S.Pd. Awalnya tidak begitu maniak banget akan gelar sarjana terlebih title sarjana pendidikan. Sebuah title yang tidak pernah diimpikan dari awal. Seperti yang pernah saya katakana dulu, meskipun title  sarjana bukanlah segalnya dan manusia di bumi masih bisa hidup walau tanpa ada gelar sarjana dibelakangnya lantas ketika saya sejak 4 tahun silam mengikutsertakan diri mengubah title pelajar menjadi mahasiswa maka untuk saat ini gelar sarjana dan 3 huruf di belakang nama adalah menjadi sebuah tujuan ahir. Dengan saya tidak setepat waktu bersama teman-teman yang lain menyandang gelar sarjana, setidaknya saya punya waktu lebih untuk memikirkan kembali langkah yang telah saya lalui dan mencari jalan terbaik untuk dilalui kelak.
Bahwasanya nama adalah sebuah doa. Ketika kita mendoakan orang lain maka kita sedang meminta kebaikan untuk diri sendiri pula. Hari ini iseng-iseng membubuhkan title pada kontak teman-teman saya diponsel sesuai dengan gelar mereka. Berharap apa yang saya lakukan ini adalah sebuah doa yang dilihat dan diaminkan oleh malaikat sehingga saya juga segera mengikuti jejak mereka. Menjadi sarjana, mengahiri penderitaan. Meskipun so late, saya akan belajar untuk menjadi diri sendiri. Setidaknya belajar untuk sedikit menjadi lebih baik.
Yang akan ditinggikan statusnya adalah mereka yang berilmu, bukan mereka yang memiliki title sarjana di namanya, ini janji Allah.
Robbi Zidni ‘ilman warzuqni fahman_