Minggu, 29 Desember 2013

#angkadua

Lego di tanah Priangan

2 SMP,
Anggap saja ini hanya sebagai penyemangat belajar. Pengantar untuk lebih baik. Sebagai awal untuk untuk ahir yang panjang.

2 Aliyah…
Sudah bukan sebuah kebetulan lagi. Bahwasanya ini adalah titik dimana saya berada pada garis equilibrium remaja. Sudah bukan sebagai penyemangat belajar, melainkan pertaruhan antara prinsip, kesetiaan, dan permainan busuk untuk bisa menyembunyikan sesuatu yang konon indah rupanya dan semerbak wanginya. Sebuah ketaatan atau jati diri atau apapun itu adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Membawa kita kepada sebuah jarak yang benar-benar jauh, hingga bahasa lisan sepertinya sudah tidak dapat dikenal lagi. Saya masih disini, masih dengan namamu dimanapun itu.
Yang pada suatu siang, saya harus tau bahwa ikhlas adalah segalanya. Tidak ada yang salah, bukan jarak yang tak tertempuh atau bahasa yang sudah tidak lagi dapat terucap. Kita sudah terlalu jauh, hingga ahirnya sangat jauh.
Pertengahan semester 2 lalu, saya menemukan seonggok dzat sepertimu. Atau kau sedang bereinkarnasi? Saya berhalusinasi tajam, atau saya rasa tidak juga.
Kau ada padanya, wujudmu berbeda namun atmosfer yang dia ciptakan seperti ketika kita sedang membahas sebuah strategi pada pagi buta dulu atau saat senja datang. Yakin, jika dia adalah reinkarnasi atas dirimu dan dikirim ke dekatku.
Semester 8 berahir
Dia yang telah lama tersimpan dalam folder tua rak buku, setiap hari satu persatu datang sebagai film tua. Seperti sedang menterjemahkan sebuah prosa klasik Jepang yang membutuhkan ketekunan untuk mengurai aksaranya dan menggandeng kamus untuk menterjemahkan bahasanya.
Yang lama telah kembali. Saat ini lah, masa dimana sebuah prinsip sangat dipertaruhkan.
Maaf saya sedikit goyah, dengan menghancurkan sendiri lego yang telah saya susun selama ini.

22 Agustus 2013
Dia menanam, maka dia yang akan memetik buahnya. Inilah hasil tanamku, sebuah kepiasan, kegamangan yang hingga kini masih menjadi misteri. Tak ada yang mengetahui warnanya, tak seorangpun dapat menyebut namanya, merusak sebungkus ketulusan wanita tua kepada gadis kecilnya. Saya menyesal.

Saya masih menutup gerbang ini sebelum lego kembali tersusun. Mungkin Majapahit akan mudah menghadang pasukan Pajajaran di lembah Larangan, tapi laut utara adalah seburuk tempat dimana Patih Gajah Mada sendiri tidak dapat bersembunyi dirumahnya.