Jumat, 21 Februari 2014

The Future Not Our To See

Kelak didepan, akan ada sebuah jalan menanjak terjal yang puncaknya kasat mata. Diamana kesejian air seperti khayalan fatamorgana. Keniscayaan gelar manusia beradab dari zaman modern sungguh dipertanyakan. Mereka yang berkembang adalah para kroni penguasa, nampaknya nama seperti namaku tidak akan mampu ditempelkan sejajar pada kursi disebuah kompetisi. Disinilah, manuasia seperti saya diuji sejauhmanakah mampu memanfaatkan amunisi Tuhan. Yeah, sekali lagi ii bangga sama kamu Syifa…
Saat jalan mencapai sebuah kelandaian, yang ada hanyalah tanah sawah diselimuti kemarau panjang. Ketika berlian akan sangat terlihat indah ditengah tumpukan sampah,
indah pada posisinya namun penuh tipudaya.
Sebuah kristal pecah akan terlihat begitu menawan saat disejajarkan diantara pecahan kaca retak, sekilas tidak ada orang yang tau.
Entahlah, masih belum terfikir oleh saya ketika diluar orang lebih memilih menadah air ditengah sahara,
mengais permata diantara tumpukan sampah,
mengacuhkan pecahan Kristal dan mengejar kaca retak.
Tidak mampu melihat sebuah nilai dari perjuagan, saat mengasah permata atau mengamplas Kristal semua itu seperti hal yang tabu untuk hidup mulia dengan harta di dunia. Yang terlihat adalah sesuatu yang wujudnya kasat mata bahkan telah remuk dan menjadi sampah. Dimanakah naluri manusia saat ini yang pada hakikatnya adalah sebuah keindahan?
Ini barulah awal dari sepenggal cerita kehidupan yang kelak akan saya jalani. Suatu saat mungkin akan ada baja yang lebih keras dari hari ini. Akan ada samudra yang pantainya tidak berujung dimana hanya ada sampan dan saya.
Ujian mendayung akan dipertontonkan, apakah saya mampu menepi atau seperti kebanyak mereka yang menjadi pengais permata ditengah sampah.
Whatever will be, will be…
Alloh hanya sedang berbisik padaku untuk segera berlari lagi mendekat kepada-Nya, masa depan tidaklah untuk kita lihat melainkan untuk kita ukir keindahan berikut likunya.