Sabtu, 07 Januari 2012

Hujan di Sabtu Sore


Entah pukul berapa.
Suhu di badanku terasa naik beberapa derajat namun hawa yang kudapatkan bukanlah panas melainkan dingin yang menusuk-nusuk meski badanku sudah dibalut dengan sweeter tebal dan kaos panjang didalamnya, kaki yang terbungkus kaos kaki tebal pun masih terasa begitu kaku kedinginan. Kubuka mata perlahan, tapi sekelilingku gelap. Hanya gemercik hujan yang dapat didengar, terlintas fikiran buruk diotakku.
“ innalillahi, mamah…” sedikit merintih ketakutan
Tak lama suara pintu berderet, dan udara dingin menyeruak masuk ke dalam kamar di ikuti dengan temaram cahaya lilin.
Ku ucapkan hamdalah dengan perasaan begitu lega, “ampuni aku Ya Allah telah berburuk sangka kepadamu”
Amih(sebutan akrab untuk mamah-Bhs Sunda), tetangga berumur paruh baya yang mungkin usianya 5 tahun diatas mamahku datang membawakan lilin ke kamar.
“ nuju aliran neng, ieu lilin disimpen dimana?”
Suara lugu dengan aksen sunda Garut menjelaskan.
Dia tetangga paling dekat posisi rumahnya denganku, jadi sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Terlebih dia hanya tinggal berdua dengan suaminya, anak semata wayangnya menetap di daerah Sukabumi jadi dengan adanya saya dengan adik menambah warna dihidupnya, seakan menemukan masa kecil anaknya dulu, itu katanya.
Mungkin tadi amih sudah di pesani mamah untuk menjagaku, sudah hampir 5 hari tubuhku tak berdaya ditempat tidur sejak kepulangan dari Jogja , jadi mamah menitipkanku padanya.
Saya hanya minta sendiri saja dikamar tanpa lilin. Masih dalam keadaan terbaring, bayanganku jatuh pada hari sabtu pecan kemarin. Pada hari yang sama, jam yang sama dan suasana hujan yang sama aku masih terbalut suasana tegang di Malioboro waktu itu, karena dianggap bawa kabur anak orang hihihi. Tapi bukan itu yang kupikirkan. Pada saat yang bersamaan, sabtu lalu saya sedang bersama ratusan orang yang berdamai dengan kegelapan. Mereka berdamai untuk selamanya, menghabiskan sisa umurnya tanpa warna dan cahaya, namun guratan semangat untuk dapat sama bahkan lebih baik dari kita yang dapat melihat begitu jelas tergambar diwajah-wajah teduh mereka. Ya, inilah hidup yang kata orang tak semulus jalan menuju Gunung Kidul. Hahahaha.
Mungkin seperti ini hidup mereka setiap hari, hanya ada gelap dan gelap. Dan ku coba pula menghayati gelap ini.
Segera ku raih jilbab mini dan syal pemberian sepupuku yang cukup menghangatkan leher. Perlahan kuraba dinding hingga akhirnya kudapati cahaya di ruang tamu.
“si eneng, meni gelap-gelapan. Tadi moal ceunah di pasihan lilin teh”.
“biarin mih, lagi pengen menghayati peran dia”. Kakak sepupuku menembalinya
Hanya ada kita bertiga dirumah, amih, aku dan A Arif.
Sudah pukul 5 sore rupanya, itu artinya 2 jam sudah aku terlelap tidur dan sepertinya hujan sudah lama turun.
Jalanan sekeliling rumahku begitu sepi, tak seorangpun lalulalang. Gelap, dingin dan hanya ada suara gemercik suara hujan dengan sesekali terdengar notif dari Bebe A Arif yang sejak tadi dia asik dengan dunianya.
Aku duduk didepan kaca, melihat luas keluar dibalik tralis. Terasa damai…
Hujan sore ini membawaku ke dunia indah, masa kanak-kanaku.
Dulu, aku paling suka jika hujan sore-sore seperti ini. Terlebih jika mati lampu. Pasti akan segera kusiapkan keputren---mainan orang-orangan yang terbuat dari kertas yang bergambar dan ada pasangan baju-bajunya atau Barbie versi kertasnya dan kumainkan di depan kaca lebar ruang tamu dan berceloteh bak dalang handal. Berlatarkan pepohonan yang basah oleh guyuran hujan, seakan menjadi pelengkap permainanku. Dengan sesekali memejamkan mata sambil bertakbir ketika kilat menyambar-nyambar. Tertawa, berceloteh dan pura-pura menangis, sungguh dalang yang hebat.
Hujan sore, juga mengenalkanku pada seorang sahabat yang menyenangkan. Ya, sahabat masa masa puber ABG ^^
Masih tentang hujan disore hari,
Biasanya dari sini, pakdhe ku akan memulai dongengnya tentang perwayangan. Tentang sebuah keyakinan dan pengakuan, makna hidup , agama dan cita-cita. Hidupku saat itu begitu merah oleh semangat mengejar cita-cita. Mencoba menyeimbangkan benteng hidupku untuk membangun cita-citaku. “kamu itu berbeda nduk” itu kata-kata motivasi yang masih ku ingat
Airmata hangat tak terasa mulai jatuh..
Aku rindu saat-saat dulu ketika hujan tiba, memainkan jemariku sebagai pandawa. Dan beraction dengan kedua saudara perempuanku sebagai Sri Kandhi atau Dewi Sinta, atau sekedar berebut ingin menjadi Dewi Sri nan bijak.
Dan ini kisah kelabu hujan di Sabtu Sore,
Siang itu aku pulang sekolah dengan sepupuku, aku kelas 2 Aliyah dan dia kelas 1. Langit begitu mendung, angin juga bertiup sangat kencang yang tak kusangka sore itu akan menadi sore kelabuku. Aku kehilangan pria terkuat didalam hidupku. Tak pernah sedikitpun aku bermimpi untuk kehilangan dia secepat ini sedini ini, dan ketika akan ku kabarkan pula padanya aku mendapat tiket beasiswa melnjutkan ke PTN terkenal di Indonesia.
Benteng pertahanan yang selama ini dibangun serasa goyah, dan satu-persatu mulai runtuh. Serasa cita-citaku pun ikut terkubur bersama jasadnya dan melebur bersama hujan di sore itu…