Jumat, 03 Oktober 2014

a dream high


Selamat Hari Arafah, semoga jemaah haji di Makah Al Mukaromah sana selalu diberikan kesehatan, kekuatan dan keikhlasan dalam melaksanakan wukuf esok dan ibadah-ibadah lainnya. Semoga saya disini segera mendapatkan ridho Alloh untuk segera menunaikan rukun Islam ke 5 tersebut, aamiin Allohumma aamiin. Di catatan tabel saya, jadwal menginjakan kaki di tanah suci itu sebenarnya tahun depan, iya tahun 2015. Sedangkan hari ini belum ada persiapan apapun untuk menuju kesana, kata Ust. Dudi barusan “bermimpilah sebab bermimpi itu geratis” semoga Alloh meridhoi. Bukan apa-apa, saat ridho Alloh memag sudah kita kantongi besok pun bisa untuk bisa ikut wukuf di arafah (ini semisal) hehee

Bisa dilihat lah saat ini, waiting list untuk dapat mewujudkan rukun islam ke 5 itu sudah hitungan tahun itu artinya jumlah orang kaya di Indonesia yang sadar akan Tuhannya semakin banyak bahkan di dunia. Ibadah haji memang gratis, namun karena letak kita yang begitu jauh dengan Ka’bah lah yang menjadikan ibadah haji tersebut menjadi mahal, ya semua itu tentang akomodasi, transportasi dan konsumsi tentunya :D

Selain itu jika dilihat secara jauh pula ibadah haji tergolong kedalam ibadah yang berat. Bukan hanya berat di ongkos saja, melainkan tentang sejauhmana kebenaran tauhid kita kepada Alloh. Bukan berarti karena kita secara geografis dengan Alloh di Baitulloh bisa jauh dari potensi-potensi untuk musyrik dan ria. Bukan. Lihat saja, diluar negeri sana tidak ada gelar H (Haji) dan Hj (Hajjah). Hanya di Indonesia saja yang menggunakan gelar tersebut bagi seseorang yang telah selesai melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Belum lagi tentang persoalan syirik lainnya yang berpotensi terjadi di tanah Mekkah sana dan seusai kembalinya ke tanah air.

Jadi ibadah haji itu memang suatu ritual ibadah tertinggi, dimana seorang hamba diuji secara material dan spiritual.

Dari sini jadi selalu teringat tentang obsesi saya untuk menjadi muslimah kaya. Saya tidak ingin memperkaya diri sendiri untuk kepentingan pribadi, tapi saya ingin memepermudah segala jalan untuk lebih taat pada Tuhan saya, Alloh. Sejak duduk di bangku Aliyah mindset ini tertanam, bahwa saya harus kaya. Mindset itu datang bukan daridoktrin oranglain, malainkan dari pengalaman pribadi yang menjadi pelajaran berharga dalam hidup.

Saya sadari dengan sepenuh hati bahwasanya saya bukan berasal dari keluarga kaya raya, hanya anak guru yang golongannya jauh dari epselon 1 jadi tidaklah mungkin dalam sekejap mata saya bisa langsung dapat bergelimang harta tanpa usaha keras. Saya bukan Paris Hilton :D Bahkan seorang Paris dan Niky Hilton pun yang sudah dijamin kaya tuju turunan mereka masih giat untuk bekerja mengumpulkan harta, ini sisi positif yang patut kita tiru. Maka dari itu bapa dan mamah ingin mewariskan harta yang hingga sampai mati pun kekayaannya masih tetap mengalir, ilmu. Pepatah mengatakan “terlahir miskin itu wajar, yang tidak wajar itu ketika mati masih miskin” kurang lebih seperti itu lah... setidaknya untuk motivasi diri sendiri.

Jadi 4 tahun duduk di bangku kuliah bahkan lebih adalah bukan persoalan bagaimana nanti saya mudah menjadi PNS, bukan. Melainkan bagaimana saya bisa memandang sesuatu yang berbeda dengan cara berfikir sedemikian rupa agar tujuan-tujuan saya tercapai. Jika bekerja hanya untuk makan dan mendapatkan uang yang banyak, monyet di simpang jalan mereka pun bisa, tapi bagaimana kita dituntut untuk dapat merubah sebuah pola pikir lama untuk memperbaiki keadaan.

Sebenarnya untuk menjadi kaya tidak harus lulusan sarjana, entah berapa puluh kali saya ucapkan kalimat tersebut. Berhubung kita tinggal di negara yang ijazah adalah segalanya, jadi mau ataupun tidak mau kita harus mengikuti sistem yang ada. Saya berani bertaruh, bahwa tidak ada seorangpun orangtua yang menghendaki hidup anaknya lebih susah dari mereka. Itu alasan mereka menyekolahkan tinggi anak-anaknya agar mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak. Jadi kalau kita tata tujuan dan harapan  orangtua pada anaknya secara berderet, secara tidak langsung orangtua hanya menghendaki anaknya yang lulus perguruan tinggi itu menjadi “mesin” bukan menjadi manusia.

Sejatinya pendidikan adalah yang mampu membawa manusia ke arah lebih baik, yang lebih memanusiakan manusia. Jadi untuk apa sekolah setinggi langit jika ahirnya harus turun ke bumi untuk menjadi mesin? Sungguh sangat membuang waktu saja.

Jadi teringat perkataan dosen ketika kuliah pagi “ bahawasanya pintu rizki itu ada 11, 7 diantaranya adalah menjadi pengusaha”. Sip! Berlomba-lombalah untuk ini teman-teman, mencari 7 pintu tersebut. Kita lihat pada Sirah Nabawiyah, Rosululloh menjadi saudagar kaya melalui berniga, begitu pula sahabat-sahabatnya. Disanalah para rosul dan para sahabat dapat membagi waktunya untuk berdakwah serta berniaga, sebab waktunya tidak hanya terbagi saja untuk urusan dunia. Pernah seorang calon magister muda berkata “dengan berniaga, kita mampu mengukur batas sejauh mana kita akan kaya” jadi istilah perbandingan ikhtiar dan hasil dalam berniaga itu benar-benar terlihat.

Sedangkan di Indonesia, jumlah pengusaha baru mencapai 0, sekian % dari jumlah ideal 2%. Jadi masihkah kita beramai-ramai mengejar lowongan pekerjaan jika didepan mata rizki telah Alloh siapkan?
Memang tidak ada larangan untuk menjadi seorang pegawai, setidaknya jika kita mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri mengapa harus menunggu panggilan kerja? Toh banyak keuntungan yang kita dapatkan, kita mampu menanam kebaikan untuk orang lain itu salah satunya.

Realistislah didalam hidup, berusaha semampu kita untuk sempurna didalam menjalani hidup Insya Alloh dunia yang akan mengikuti kita. Menjadi kaya bukan berarti mengorbankan waktu beribadah, menjadi kaya bukan berarti harus mengorbankan ilmu, menjadi kaya adalah tentang sebuah keikhlasan kita bekerja tanpa menghilangkan nilai-nilai kebaikan.

Labbaika Allohuma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulka laa syariika laka