Selamat
Hari Arafah, semoga jemaah haji di Makah Al Mukaromah sana selalu diberikan
kesehatan, kekuatan dan keikhlasan dalam melaksanakan wukuf esok dan
ibadah-ibadah lainnya. Semoga saya disini segera mendapatkan ridho Alloh untuk
segera menunaikan rukun Islam ke 5 tersebut, aamiin Allohumma aamiin. Di catatan
tabel saya, jadwal menginjakan kaki di tanah suci itu sebenarnya tahun depan,
iya tahun 2015. Sedangkan hari ini belum ada persiapan apapun untuk menuju
kesana, kata Ust. Dudi barusan “bermimpilah sebab bermimpi itu geratis” semoga
Alloh meridhoi. Bukan apa-apa, saat ridho Alloh memag sudah kita kantongi besok
pun bisa untuk bisa ikut wukuf di arafah (ini semisal) hehee
Bisa
dilihat lah saat ini, waiting list untuk dapat mewujudkan rukun islam ke 5 itu
sudah hitungan tahun itu artinya jumlah orang kaya di Indonesia yang sadar akan
Tuhannya semakin banyak bahkan di dunia. Ibadah haji memang gratis, namun
karena letak kita yang begitu jauh dengan Ka’bah lah yang menjadikan ibadah
haji tersebut menjadi mahal, ya semua itu tentang akomodasi, transportasi dan
konsumsi tentunya :D
Selain
itu jika dilihat secara jauh pula ibadah haji tergolong kedalam ibadah yang
berat. Bukan hanya berat di ongkos saja, melainkan tentang sejauhmana kebenaran
tauhid kita kepada Alloh. Bukan berarti karena kita secara geografis dengan
Alloh di Baitulloh bisa jauh dari potensi-potensi untuk musyrik dan ria. Bukan.
Lihat saja, diluar negeri sana tidak ada gelar H (Haji) dan Hj (Hajjah). Hanya
di Indonesia saja yang menggunakan gelar tersebut bagi seseorang yang telah
selesai melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Belum lagi tentang persoalan syirik
lainnya yang berpotensi terjadi di tanah Mekkah sana dan seusai kembalinya ke
tanah air.
Jadi
ibadah haji itu memang suatu ritual ibadah tertinggi, dimana seorang hamba
diuji secara material dan spiritual.
Dari
sini jadi selalu teringat tentang obsesi saya untuk menjadi muslimah kaya. Saya
tidak ingin memperkaya diri sendiri untuk kepentingan pribadi, tapi saya ingin
memepermudah segala jalan untuk lebih taat pada Tuhan saya, Alloh. Sejak duduk
di bangku Aliyah mindset ini tertanam, bahwa saya harus kaya. Mindset itu
datang bukan daridoktrin oranglain, malainkan dari pengalaman pribadi yang
menjadi pelajaran berharga dalam hidup.
Saya
sadari dengan sepenuh hati bahwasanya saya bukan berasal dari keluarga kaya
raya, hanya anak guru yang golongannya jauh dari epselon 1 jadi tidaklah
mungkin dalam sekejap mata saya bisa langsung dapat bergelimang harta tanpa
usaha keras. Saya bukan Paris Hilton :D Bahkan seorang Paris dan Niky Hilton
pun yang sudah dijamin kaya tuju turunan mereka masih giat untuk bekerja
mengumpulkan harta, ini sisi positif yang patut kita tiru. Maka dari itu bapa
dan mamah ingin mewariskan harta yang hingga sampai mati pun kekayaannya masih
tetap mengalir, ilmu. Pepatah mengatakan “terlahir
miskin itu wajar, yang tidak wajar itu ketika mati masih miskin” kurang lebih seperti itu lah... setidaknya
untuk motivasi diri sendiri.
Jadi
4 tahun duduk di bangku kuliah bahkan lebih adalah bukan persoalan bagaimana
nanti saya mudah menjadi PNS, bukan. Melainkan bagaimana saya bisa memandang
sesuatu yang berbeda dengan cara berfikir sedemikian rupa agar tujuan-tujuan
saya tercapai. Jika bekerja hanya untuk makan dan mendapatkan uang yang banyak,
monyet di simpang jalan mereka pun bisa, tapi bagaimana kita dituntut untuk
dapat merubah sebuah pola pikir lama untuk memperbaiki keadaan.
Sebenarnya
untuk menjadi kaya tidak harus lulusan sarjana, entah berapa puluh kali saya
ucapkan kalimat tersebut. Berhubung kita tinggal di negara yang ijazah adalah
segalanya, jadi mau ataupun tidak mau kita harus mengikuti sistem yang ada.
Saya berani bertaruh, bahwa tidak ada seorangpun orangtua yang menghendaki
hidup anaknya lebih susah dari mereka. Itu alasan mereka menyekolahkan tinggi
anak-anaknya agar mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak. Jadi kalau kita
tata tujuan dan harapan orangtua pada anaknya secara berderet, secara
tidak langsung orangtua hanya menghendaki anaknya yang lulus perguruan tinggi
itu menjadi “mesin” bukan menjadi manusia.
Sejatinya
pendidikan adalah yang mampu membawa manusia ke arah lebih baik, yang lebih
memanusiakan manusia. Jadi untuk apa sekolah setinggi langit jika ahirnya harus
turun ke bumi untuk menjadi mesin? Sungguh sangat membuang waktu saja.
Jadi
teringat perkataan dosen ketika kuliah pagi “ bahawasanya pintu rizki itu ada
11, 7 diantaranya adalah menjadi pengusaha”. Sip! Berlomba-lombalah untuk ini
teman-teman, mencari 7 pintu tersebut. Kita lihat pada Sirah Nabawiyah,
Rosululloh menjadi saudagar kaya melalui berniga, begitu pula sahabat-sahabatnya.
Disanalah para rosul dan para sahabat dapat membagi waktunya untuk berdakwah
serta berniaga, sebab waktunya tidak hanya terbagi saja untuk urusan dunia.
Pernah seorang calon magister muda berkata “dengan berniaga, kita mampu
mengukur batas sejauh mana kita akan kaya” jadi istilah perbandingan ikhtiar
dan hasil dalam berniaga itu benar-benar terlihat.
Sedangkan
di Indonesia, jumlah pengusaha baru mencapai 0, sekian % dari jumlah ideal 2%.
Jadi masihkah kita beramai-ramai mengejar lowongan pekerjaan jika didepan mata
rizki telah Alloh siapkan?
Memang
tidak ada larangan untuk menjadi seorang pegawai, setidaknya jika kita mampu
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri mengapa harus menunggu panggilan kerja?
Toh banyak keuntungan yang kita dapatkan, kita mampu menanam kebaikan untuk
orang lain itu salah satunya.
Realistislah
didalam hidup, berusaha semampu kita untuk sempurna didalam menjalani hidup
Insya Alloh dunia yang akan mengikuti kita. Menjadi kaya bukan berarti
mengorbankan waktu beribadah, menjadi kaya bukan berarti harus mengorbankan
ilmu, menjadi kaya adalah tentang sebuah keikhlasan kita bekerja tanpa
menghilangkan nilai-nilai kebaikan.
Labbaika Allohuma labbaika,
labbaika laa syariika laka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulka laa
syariika laka