Kamis, 15 Mei 2014

saat musim semi tiba; maka aku jatuh cinta



Musim dingin itu berahir dan seakan tertahan di seberang jembatan tidak mampu menyapa saya. Musim semi menyapa dengan senyumnya yang hagat, mawar di taman kembali menunjukan tunasnya. Disinilah episode cinta baru dimulai, saat musim semi kembali menyapa;
Episode menyedihkan tentang kegagalan cinta telah menjadi cerita, yang kelak akan usang dan menjadi sebuah pembelajaran. Karena jika engkau terluka oleh cinta maka penawarnya adalah ketika kau jatuh cinta Kembali, menambatkan hatimu pada pengelana, dan merangkai cerita-cerita baru.
Tapi bukankah semi juga akan berganti pada musim yang lainnya?
Itu benar, tapi tidak pada cintamu. Perginya semi dan datangnya musim panas adalah sebuah alinea-alinea yang harus ditelusuri dan dipahami untuk dapat dimengerti maknanya, menarik garis merah alurnya, dan membuat kesimpulan bahwa orang yang kau cintai itu adalah dia yang benar-benar selama ini menggandengmu dari semi hingga menuju semi yang lainnya menguraikan alinea kehidupan.
Meskipun cinta bertunas, tapi cinta tidak akan mampu mati oleh usia. Hanya kedengkian dan angin hitam yang mampu memusnahkan cinta. Jika ketulusan adalah pupuk yang kau gunakan dalam cinta, maka buah yang dihasilkan adalah kesetiaan luar biasa yang tidak mampu terujikan oleh apapun.
Sebab cinta itu seperti kita memakai baju. Sesuatu yang asing namun menjadi kebutuhan dan menyatu dalam tubuh kita. Melindungi kita dari panas dan hujan, rela harus dicuci dan diterpa. Cinta tidak pernah mengeluh, dan akan setia pada tuannya. Semakin baju sering dicuci dan dipakai, maka ia akan semakin memahami tubuh kita. Begitu pula dengan cinta, semakin lama kita bersama dengan orang yang dicinta maka akan semakin bertambah pula kualitas sebuah cinta.
Cinta itu senderhana, cinta tidak mengenal siapa dan dimana tuannya.
Hai cinta... aku siap jatuh cinta