Musim
dingin itu berahir dan seakan tertahan di seberang jembatan tidak mampu menyapa
saya. Musim semi menyapa dengan senyumnya yang hagat, mawar di taman kembali
menunjukan tunasnya. Disinilah episode cinta baru dimulai, saat musim semi
kembali menyapa;
Episode
menyedihkan tentang kegagalan cinta telah menjadi cerita, yang kelak akan usang
dan menjadi sebuah pembelajaran. Karena jika engkau terluka oleh cinta maka
penawarnya adalah ketika kau jatuh cinta Kembali, menambatkan hatimu pada
pengelana, dan merangkai cerita-cerita baru.
Tapi
bukankah semi juga akan berganti pada musim yang lainnya?
Itu
benar, tapi tidak pada cintamu. Perginya semi dan datangnya musim panas adalah sebuah
alinea-alinea yang harus ditelusuri dan dipahami untuk dapat dimengerti maknanya,
menarik garis merah alurnya, dan membuat kesimpulan bahwa orang yang kau cintai
itu adalah dia yang benar-benar selama ini menggandengmu dari semi hingga
menuju semi yang lainnya menguraikan alinea kehidupan.
Meskipun
cinta bertunas, tapi cinta tidak akan mampu mati oleh usia. Hanya kedengkian
dan angin hitam yang mampu memusnahkan cinta. Jika ketulusan adalah pupuk yang
kau gunakan dalam cinta, maka buah yang dihasilkan adalah kesetiaan luar biasa
yang tidak mampu terujikan oleh apapun.
Sebab
cinta itu seperti kita memakai baju. Sesuatu yang asing namun menjadi kebutuhan
dan menyatu dalam tubuh kita. Melindungi kita dari panas dan hujan, rela harus
dicuci dan diterpa. Cinta tidak pernah mengeluh, dan akan setia pada tuannya.
Semakin baju sering dicuci dan dipakai, maka ia akan semakin memahami tubuh
kita. Begitu pula dengan cinta, semakin lama kita bersama dengan orang yang dicinta
maka akan semakin bertambah pula kualitas sebuah cinta.
Cinta itu
senderhana, cinta tidak mengenal siapa dan dimana tuannya.
Hai
cinta... aku siap jatuh cinta